Identitas Buku
Judul Buku :
Hukum Tata Negara Indonesia
Penulis : Fajlurahman Jurdi
Penulis : Fajlurahman Jurdi
Penerbit :
Prenadamedia Group
Tahun Terbit :
2019
Tebal :
623 halaman
Harga Buku : Rp200.000,00
Resensi Buku Hukum Tata Negara Indonesia
Oleh: Yusril Ihza Yunus
Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas
1.
Ikhtisar/Rangkuman
Buku
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Ilmu
Di subbab pertama dalam buku ini
menjelaskan tentang apa itu pengertian ilmu, di dalam buku dijelaskan bahwa
ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima-ya’lamu yang berarti tahu atau
mengetahui, sementara itu ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi haqiqotih (mengetahui sesuatu secara hakiki).
Selain itu ada beberapa pendapat
para ahli dan tokoh-tokoh mengenai pengertian ilmu itu sendiri
Menurut Prent secara etimologis
ilmu berasal dari kata “Scientia” yang
berarti pengetahuan tentang, tahu juga tentang, pengetahuan mendalam, paham
benar-benar, dan menurut Prent juga dijelaskan bahwa ilmu memiliki makna
denotatif dan makna konotatif.
Menurut The Liang Gie, ilmu
merupakan sebuah istilah umum untuk menyebutkan segenap pengetahuan ilmiah yang
dipandang sebagai suaru kebulatan. Jadi ilmu mengacu pada ilmu seumnya. Dan
ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari
pokok soal tertentu, ilmu berarti cabang ilmu khusus.
Dari segi maknanya, The Liang Gie
mengemukakan tiga sudut pandang berkaitan dengan pemaknaan ilmu pengetahuan,
yaitu:
· Ilmu
sebagai pengetahuan
· Ilmu
sebagai aktivitas
· Ilmu
sebagai metode
B. Pengertian
Pengetahuan
Di dalam subbab ini dijelaskan
bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang terjadi sehari-hari di tengah-tengah
masyarakat yang diketahui dan dipahami oleh umum. Pengetahuan tidak perlu diuji
validitas ilmiahnya, karena orang hanya sekadar tahu dan mengetahui saja.
Di subbab ini juga terdapat
pendapat para ahli tentang pengetahuan, menurut Jujun S. Suriasumantri,
pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang
suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu jadi ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai
pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya
seperti seni dan agama.
Sementara menurut Soejono
Soemargono dipandan dari segi karakteristiknya dapat dibedakan sebagai berikut:
· Pengetahuan
indriawi (indra)
· Pengetahuan
akal budi
· Pengetahuan
intuitif
· Pengetahuan
kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.
Dan juga masih ada pendapat para
ahli lainnya di dalam subbab buku ini, seperti Pudjawidjana dan Notoadmodjo
yang memiliki pendapat yang hampir sama tentang pengetahuan adalah merupakan
hasil dari pengindraan terhadap objek tertentu, Wotloly yang membagi pengertian
pengetahuan menjadi dua yakni statis dan dinamis
C. Perbedaan
Antara Ilmu dan Pengetahuan
Dari pembahasan subbab sebelumnya,
maka jelas perbedaan prinsipiel antara ilmu dan pengetahuan. Ilmu diperoleh
melalui mekanisme ilmiah dan metodis sedangkan pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman.
Dan dalam kaitannya dengan ilmu
pengetahuan modern, Djokosoetono mengatakan bahwa ilmu pengetahuan modern
memiliki sifat-sifat atau syarat-syarat, yakni:
· Empiris
· Immanent
(jangan spekulatif)
· Fungsional
· Dialektis
· Dynamisch
(dinamis)
· Knowledge
for what (ilmu pengetahuan harus prakmatis, harus praktis)
D. Hukum Tata
Negara Sebagai Ilmu
Hukum tata negara dalam arti luas
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:
· Hukum
tata negara dalam arti sempit atau hanya disebut hukum tata negara
· Hukum
tata usaha negara (administrative recht)
yang dalam khasanah ilmu hukum di Indonesia lebih popular dengan sebutan hukum
administrasi negara.
Adapun pendapat dari para ahli yang
dibahas di subbab ini, seperti Van Vollenhoven, yang mengatakan hukum tata
negara itu mengatur semua masyarakat hukum tingkat atas dan tingkat bawah, yang
selanjutnya menentukan wilayah lingkungan, menentukan badan-badan yang
berkuasa, berwenang dan berfungsi dalam masyarakat hukum tersebut.
Adapun pendapat Van der Pot,
Maurice Duverger, Kusumadi Pudjosewojo, A.M Donner, dan Jimly Asshiddiqie yang
mengemukakan pendapat tentang apa itu hukum tata negara serta bagian-bagiannya
Dan dalam studi Hukum Tata Negara
itu sebenarnya adapula cabang ilmu khusus yang melakukan telaah perbandingan
antar-berbagai konstitusi, yaitu Hukum Tata Negara Perbandingan atau Ilmu
Perbandungan Hukum Tata Negara, yang bertujuan:
· Untuk
membandingkan dua atau lebih konstitusi-konstitusi
· Untuk
membandingkan satu konstitusi yang ditelaah dengan konstitusi lain.
E. Objek Kajian
Ilmu Hukum Tata Negara
Sebagai ilmu, hukum tata negara
memiliki objek kajian yang berbeda dengan ilmu politik, hukum pidana, hukum
internasional, hukum perdata maupun hukum administrasi negara. Objek kajian
hukum tata negara sebenarnya tertuang dalam konstitusi suatu negara.
Secara umum, objek kajian hukum
tata negara adalah:
· Hukum
tata negara mengkaji mengenai organisasi negara
· Hukum
rara negara juga meletakkan objek kajiannya pada alat kelengkapan negara
· Konsep
trias politica menjadi
acuan dikarenakan setiap alat kelengkapan negara memiliki hubungan kelembagaan
yang satu dengan yang lain.
· Bentuk
negara dan bentuk pemerintahan
· Sistem
pemerintahan suatu negara
· Wilayah
dan batas-batas negara yang telah ditentukan
· Perlindungan
hak-hak warga negara, khususnya HAM
· Pemenuhan
hak dan kewajiban warga negara dan pemerintah
· Menjadikan
konstitusi sebagai objek kajiannya
Selain apa yang penulis kemukakan
di atas, Handoyo juga mengemukakan hal yang serupa mengenai objek kajian hukum
tata negara. Yakni:
· Bentuk
dan cara pembentukan atau penyusunan alat-alat perlengkapan negara
· Wewenang,
fungsi, tugas, kewajiban dan tanggung jawab dari masing-masing alat
perlengkapan negara.
· Hubungan
antara alat perlengkapan negara, baik yang bersifat vertical maupun horizontal
· Hubungan
antara warga negara termasuk hak-hak asasi dari warga negara sebagai anggota
organisasi
BAB 2
HUBUNGAN
HUKUM TATA NEGARA DENGAN ILMU LAIN
A, Hukum Tata
Negara dengan Ilmu Biologi
Dalam ilmu Biologi, terdapat
pelajaran menegenai organ tubuh manusia, yang terdiri atas berbagai
jaringan-jaringan yang rumit. Jaringan-jaringan yang rumit itulah yang
membentuk manusia sehingga berfungsi dengan baik. Dan masing-masing organ
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda.
Organ-organ Negara, bila
menggunakan analogi, persis sama dengan organ manusia. Salah satu organ negara
yang dapat kita pinjam untuk menjelaskan kesamaan ini adalah organ legislative.
Pada organ legislative, ada tugas untuk membentuk peraturan perundang-undang. Yang
dimana tugas ini tidak dapat dilaksanakan oleh organ eksekutif atau organ
yudikatif, karena kedua lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang lain lagi
Pada ilmu biologi, organ tubuh
manusia tentu dipelajari dengan baik dan lebih detail lagi fungsi dan tugas
masing-masing organ. Sementara pada ilmu Hukum Tata Negara, organ-organ negara
mendapat pula porsi yang serius untuk dipelajari, karena itulah yang menjadi
objek hukum tata negara.
B. Hukum Tata
Negara dan Ilmu Politik
Terdapat hubungan yang relevan antara
hukum tata negara (HTN) dan ilmu politik. Politik adalah kegiatan yang
berkaitan dengan lembaga-lembaga negara, seperti kegiatan membentuk
undang-undang dan kegiatan melaksanakan perintah undang-undang. Sementara HTN
berkaitan dengan badan-badan politik atau badan-badan kenegaraan di mana
kegiatan politik diatraksikan.
Hukum Tata Negara mempelajari
peraturan-peraturan hukum yang mengatur organisasi kekuasaan Negara. Adapu Ilmu
Politik mempelajarin kekuasaan dilihat dari aspek perilaku kekuasaan tersebut.
Baik Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik memiliki objek yang sama yaitu
“Negara”. Dengan kata lain Ilmu Politik melahirkan manusia-manusia Hukum Tata
Negara sebaliknya Hukum Tata Negara merumuskan dasar dari perilaku politik atau
kekuasaan.
C. Hubungan
Hukum Tata Negara dengan Ilmu Kenegaraan
Ilmu Hukum Tata Negara termasuk
keluarga ilmu hukum kenegaraan (staatslehre).
Seperti dikemukakan, staatslehre atau
theorie der staat dapat dibagi
dua, staatslehre in ruimerezin atau
teeori negara dalam arti luas dan staatslehre
in engerezin atau teori negara dalam
arti sempit. Staatslehre dalam arti sempit itulah yang
dapat di identifikasikan dengan staatsrecht
yang dapat lagi dibagi dua, masing-masing dalam arti luas dan sempit.
George Jellinek, membagi Staatswissenchaft menjadi staatswissenschaft dalam arti sempit dan
rechtwissenscaft. Staatswissenschaft dalam
arti meliputi:
1. Bescreibende staatswissenschaft, yaitu
staatenkunde
2. Theoritische staatswissenschaft atau
staatsleer. Yang dibagi ke dalam allgemeine staatslehre atau ilmu negara
umum dan aesondere staatslehre atau
ilmu negara khusus.
3. Praktische staatswissenschaft atau
angewandte staatswissenschaft.
D. Hubungan Ilmu
Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara Dalam Arti Luas
Untuk istilah ilmu Hukum Tata
Negara ini disingkat HTN sering dipakai istilah yang berlainan. Umpamanya di
negara Belanda disebut densan Staatsrecht,
di Negara Jerman Verfassungsrecht, di
tanah Inggris Constitusional-law.
Adapun di negara Perancis menurut sarjana yang bernama Maurice Duverger di dalam
bukunya yang berjudul Droit Constitutinnel
et institutions Politiques, disebut Droit
Constitutinnel.
Menurut Usep Ranawidjaja dalam
tulisannya "Himpunan kuliah hukum tata negara Indonesia", istilah
Hukum Tata Negara merupakan hasil terjemahan dari bahasa Belanda Staatsrecht. Sudah menjadi kesatuan
pendapat di antara para sarjana hukum Belanda untuk membedakan antara
"Hukum Tata Negara dalam arti luas" (staatsrecht in riume zin), dan "Hukum Tata Negara dalam arti
sempit" (staatsrecht in etwezin),
dan untuk membagi Hukum Tata Negara dalam arti luas itu atas dua golongan
hukum, yaitu:
1. Hukum
Tata Negara dalam arti sempit (Staatsrecht
in engezin) atau untuk singkatnya dinamakan Hukum Tata Negara (staiatsrecht).
2. Hukum
Tata Usaha Negara (administratief recht).
Selanjutnya dikatakan pula oleh
Evenwel, "wat voor de wetenschap van
hetpositieve staatsrecht inteiding is, een onmisbare voorw'arde voor het
verdere werk, is voor de algemene staatsleer het elgenlijke doe van het bonde-
rzoek zelve. Zij neemt de algemene problemen, die zich bij den staat en zijn
organisatie voordoen, in het van haar onderzoek, en mzcht deze tot oplossing te
brengen" (Akan tetapi hal yang bagi Ilmu Hukum Tata Negara positif
merupakan suatu pengantar, satu syarat mutlak untuk pekerjaan selanjutnya, bagi
Ilmu Negara merupakan tujuan sesungguhnya daripada penyelidikan yang
dilakukannya. Oleh Ilmu Negara masalah-masalah umum yang terdapat pada negara
organisasinya dijadikan pusat penyeli- dikannya serta dicoba untuk
dipecahkannya).
Maka dengan demikian, jelaslah
bahwa Ilmu Negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki
pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok negara dapat memberikan
dasar-dasar teoretis yang bersifat umum untuk Hukum Tata Negara. Oleh karena
itu, agar dapat mengerti dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya sistem hukum
ketatanegaraan sesuatu negara tertentu, sudah sewajarnyalah kita harus terlebih
dahulu memiliki pengetahuan segala hal ikhwalnya secara umum tentang negara
yang didapat dalam ilmu negara.
E. Hubungan
Hukum Tata Negara dengan Hukum Internasional
Hukum tata negara dan hukum
internasional public, sama-sama merupakan cabang ilmu hukum publik. Namun objek
kajian internasional publik sangat berbeda dengan kajian hukum tata negara.
Hukum tata negara hanya pelajari negara dari struktur internalnya sedangkam
hukum internasional publik mempelajari hubungan-hubungan hukum antarnegara itu
secara eksternal. Di samping itu, hukum internasional itu sendiri, ada pula
yang bersifat privat (perdata) di samping ada yang bersifat publik. Tentunya
yang mempunyai hubungan erat dengan ilmü hukum tata negara adalah cabang hukum
internasional publik. Keduanya sama-sama menelaah dan mengatur mengenai
organisasi negara. Akan tetapi, hukum internasional mempelajari dan mengatur
mengenai hu- bungan-hubungan eksternal dari negara, sedangkan hukum tata negara
yang di bahas adalah perspektif yang bersifat internal, misalnya teori tentang
kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, kedaulatan raja, ataupun teori kedaulatan
Tuhan.
F. Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara
Yang membedakan Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara secara prinsipiel, karena kedua ilmu pengetahuan
itu menurut mereka dapat dibagi secara tajam, baik mengenai sistimatik maupun isinya,
Hukum Administrasi Negara itu merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas
dikurangi Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Ini yang djsebut dengan teori
"residu".
Logemann yang dalam bukunya
"Over de theorie een stellig
stoatsrecht" berhubung Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
itu merupakan suatu macam hukum khusus (als
byzonder sort von recht) yang mempunyai objek penyelidikan hukum. Menurut
Logemann, Hukum Tata Negara itu mempelajari:
1.
Susunan dari jabatan-jabatan;
2.
Penunjukan mengenai
pejabat-pejabat;
3.
Tugas dan kewajiban yang melekat
pada jabatan;
4.
Batas wewenang dan tugas dari
jabatan terhadap daerah dan orang- orang yang dikuasainya;
5.
Hubungan antarjabatan;
6.
Penggantian jabatan; dan
7.
Hubungan antara jabatan dan
pejabat.
Adapun hukum administrasi negara
mempelajari jenisnya, bentuk serta akibat hukum yang dilakukan oleh para
pejabat dalam melakukan tugasnya.
BAB 3
ASAS-ASAS
HUKUM TATA NEGARA
A. Pengertian
Asas Hukum
Asas hukum (Rechts Beginsellen) merupakan salah satu bagian dari kaidah hukum.
Asas hukum bersifat umum dan abstrak, sehingga ia menjadi roh dan spirit dari
suatu perundang-undangan. Pada umumnya asas hukum itu berubah mengikuti kaidah
hukumnya, sedangkan kaidah hukum akan berubah mengikuti perkembangan
masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat.
Asas hukum berfungsi baik di dalam
maupun di belakang sistem hukum positif. Asas hukum itu dapat berfungsi demikan
karena berisi ukuran nilai. Sebagai kaidah penilaian asas hukum tertinggi dari
suatu sistem hukum itu adalah fondasi dari sistem tersebut, Asas hukum itu
terlalu umum untuk dapat berperan sebagai pedoman bagi perbuatan. Karena itu,
asas hukum harus dikonkretisasikan. Pembentuk undang-undang membentuk aturan
hukum, yang di dalamnya ia merumuskan kaidah perilaku. Selanjutnya konkretisasi
dalam kaidah perilaku ini terjadi
melalui generalisasi putusan-putusan hakim. Jika pengkonkretisasian
telah terjadi dan sudah ditetapkan (terbentuk) aturan-aturan hukum positif dan putusan-putusan
hakim. maka asas hukum tetap memiliki sifat sebagai kaidah penilaian. Dengan
itu, maka fungsi kedua asas hukum tampil kepermukaan. Ukuran nilai yang
diberikan asas hukum itu sulit untuk diwujudkan secara sepenuhnya. Dengan itu asas
hukum dapat tetap berhadapan dengan sistem hukum positif dan berfungsi sebagai
batu-uji kritis (kritische toetssteen)
B. Asas Negara
Hukum
Salah satu yang menjadi
fondasi dari pelajaran hukum tata negara adalah mengenai asas negara hukum.
Asas negara hukum ini bersinggungan dengan prinsip bahwa semua warga negara,
tidak terkecuali dari kelas kelas mana pun berasal, harus tunduk di bawah
kendali hukum. inilah yang disebut dengan equality
before the law. Kesetaraan dan kesamaan posisi dalam hukum menjadi salah
satu pemikiran penting dalam hukum tata negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis menyatakan bahwa "Indonesia
adalah negara hukum." Akibatnya segala tindakan dan keputusan individu dan
kelompok, baik dalam konteks lembaga negara maupun warga negara harus tunduk
pada perintah hukum, baik bersifat imperatif maupun alternatif.
Prinsip penting dalam negara hukum
adalah perlindungan yang sama (equal
protection) atau persamaan dalam hukum (equality
before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang
khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang
berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang
rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang
logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan,
sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan
petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis
seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk
di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.
Konsep negara hukum dibagi lagi
menjadi beberapa pembagian, sebagai berikut:
1.
Rechstaat
2.
Rule
of Law
3.
Socialist
Legality
C. Asas
Pancasila
Pancasila adalah philosophy Grondslagh, atau filsafat
dasar banga dan negara. Sebagai filsafat dasar bangsa dan negara, Pancasila menempati
posisis sentral dalam upaya membangun negara hukum Indonesia yang berdasarkan
falsafah bangsa. Artinya, Pancasila sebagai volkgeist
menjadi salah satu piranti utama bagi konsep kehidupan bertata negara di
Indonesia. secara ketatanegaraan, posisi Pancasila menjadi sumber dari segala
sumber hukum.
Apabila merujuk pada konsep stuffen theory-nya Hans Kelsen, maka Pancasila bukanlah staat fundamental norm, tetapi di
atasnya lagi, karena ia merupakan filsafat bangsa. Sebab itu disebut sebagai volkgeist.
Sila-sila dalam Pancasila
mengandung daya magis yang kuat elan
vital persatuan dan kesatuan bangsa, adanya jaminan terhaåap pluralitas,
penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia dan piranti-piranti kehidupan kolektif
lainnya. Oleh karena itu, dapat diuraikan bagaimanaa hubungan tali-temali
sila-sila dalam Pancasila jika dihubungkan butir-butir yang ada dalam rangka
menyongsong kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
D. Asas
Demokrasi
Selain Pancasila, asas yang dianut
dalam Hukum Tata Negara adalah asas demokrasi. Demokrasi berkaitan dengan
prinsip pemerintahan modern yang harus "diimani" oleh lembaga-lembaga
negara dan institusi politik modern. Sebab itu, prinsip atau asas demokrasi
dalam hukum tata negara berhubungan langsung dengan eksistensi institusi
politik dan ke- lembagaan negara yang diatur di dalam konstitusi masing-masing
negara tersebut. Secara sederhana, democracy
is government from the people, by the pe- ople, and for the people.
Pemerintahan yang dikendalikan sepenuhnya oleh rakyat, yakni bersumber dari
rakyat, dikelola oleh rakyat untuk kepen- tingan rakyat pula. Pemerintahan yang
pusat sirkulasinya adalah rakyat. Pembentukan konstitusi Indonesia didasari
atas sejarah perdebatan dan diskursus demokrasi yang panjang, sehingga
keputusan yang diambil dalam menyusun struktur ketatanegaraan Indonesia
memiliki relevansi dengan tesis-tesis demokrasi.
Makna demokrasi sebagai dasar hidup
bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang
memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk
dalam menilai kebijakkan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan
kehidupan rakyat. dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah
negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari
pengalaman itu, jelas bahwa Indonesia sebagai salah satu entintas negara
demokrasi, memiliki habitus yang
berbeda latar belakangnya dengan konsep demokrasi di Barat. Indonesia
mendasarkan sejarah demokrasinya pada pengalaman historis dan perjuangan bangsa
Indone- sia. berdasarkan pengalaman historis tersebut, Indonesia menemukan jati
dirinya dalam menerapkan hakikat demokrasi yang bersandarkan pada kehendak
kultural.
E. Asas Negara
Kesatuan
Asas ini berkaitan dengan konsep
Negara Republik Indonesia yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Dalam hal ini,
susunan Negara tidak terbagi, atau dalam konteks yang lebih kuat lagi dapat
dinyatakan bahwa susunan Negara dalam Negara kesatuan hanya terdiri atas satu
Negara saja, tidak ada Negara-negara bagian, yang ada hanya daerah-daerah atau
provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam hal ini, kewenangan pemerintah
daerah dalam Negara kesatuan hanyalah berupa kekuasaan sisa (residu) dari
pemerintah pusat. Kewenangan pemerintahan yang autentik dan kuat adalah
kewenang- an pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya menjalankan
mekanisme dan ketentuan yang telah ditetapkan di pusat. Itulah sebab- nya,
tidak ada kedaulatan pemerintah daerah, karena kedaulatan bersifat tunggal,
hanya miliki Negara, dalam konteks ini terpusat.
Penegasan mengenai konsep Negara
kesatuan ini merupakan kon- sekuensi dari penekanan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI
tahun 1945 yang menegaskan bahwa; "Negara Indonesia ialah Negara kesatuan
yang ber- bentuk republik". Frasa "Negara kesatuan" dan frasa
"berbentuk repub- lik" merupakan dua entitas yang sama-sama sentral
untuk dijaga dan dirawat, mengingat multikulturalisme yang melekat bersama
bangsa Indonesia, maka tidak dapat dipungkiri, bahwa Negara kesatuan atau
disingkat NKRI merupakan elemen vital yang menjadi pemersatu bagi segala
perbedaan.
Prinsip Negara Kesatuan ini penting
bagi hukum tata Negara untuk diketengahkan, mengingat hal ini merupakan fondasi
bagi pembentukan pemerintahan secara umum, termasuk lembaga-lembaga Negara yang
dibentuk. Dengan memahami hakikat Negara kesatuan, maka secara umum juga kita
harus memahami konsekuensi yang mengikutinya. Misalnya, apa saja elemen
penopang Negara kesatuan.
F. Asas Hak
Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan salah
satu asas mendasar dalam hukum tata negara, karena secara prinsip, keberadaan
lembaga-lembaga negara beserta fungsi yang melekat di dalamnya adalah untuk
melindungi hak asasi manusia. Hukum tata negara menempatkan asas hak asasi
manusia sebagai prinsip-prinsip dasar bernegara.
Jan Materson menegaskan bahwa hak
asasi manusia adalah hak- hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya
manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Artinya, hak asasi manusia
berkaitan secara langsung dengan kehidupan manusia, karena melekat
"nyawa", "kehendak", dan "kebebasan" sebagai
bagian fundamental dari eksistensi manusia secara individual sebelum ia melebur
menjadi makhluk sosial.
Hak asasi fundamental untuk
memahami hakikat Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian
dasar tentang hak. Secara definitif "hak" merupakan unsur normatif
yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan
serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
martabatnya. Hak sen- diri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Pemilik hak;
2.
Ruang lingkup penerapan hak; dan
3.
Pihak yang bersedia dalam penerapan
hak.
Karena itu, hak tidak berdiri
sendiri, karena ia memiliki elemen pe- nopang, yakni individu yang memiliki
hak, di mana hak itu diterapkan, dan ada entitas lain di luar individu yang
bersedia dalam penerapan hak tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa: "Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hu- kum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia."
G. Asas Checks
and Balances
Kata "checks" dalam checks and
balances berarti suatu pengontrolan yang satu dengan yang Iain, agar suatu
pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan. Adapun "balance"
merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang kekuasaan
tidak cenderung terlalu kuat (kosenrasi kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani.
Checks
and balances system adalah sistem di mana orang-orang
dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan
jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Pengawasan (checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah suatu langkah
maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan
utama dalam checks and balances
adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan
dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Bila seluruh ketiga cabang
kekuasaan tersebut memiliki 29 checks
terhadap satu sama lainnya, checks
tersebut digunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang
mengambil terlalu banyak kekuasaan dibatasi lewat tindakan cabang kekuasaan
yang lain. Checks and Balances
diciptakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Hal tersebut dapat tercapai
dengan mensplit pemerintah dalam kelompok-kelompok persaingan yang dapat secara
aktif membatasi kekuasaan kelompok lainnya. Hal ini akan berakhir bila ada
suatu kelompok kekuasaan yang mencoba untuk menggunakan kekuasaannya secara
illegal.
Check
and balances merupakan asas penting dalam mengingat
salah satu kajian dalam hukum tata negara adalah merupakan lembaga-lembaga
negara yang sifatnya statis. Hal ini yang membedakannya dengan hukum
administrasi negara, di mana fokus kajian nya adalah negara dalam keadaan
dinamis. Sementara Ilmu Negara memandang negara secara umum.
H. Asas Umum
Pemerintahan yang Baik
Salah satu elemen penting dari asas-asas
hukum tata negara juga adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal ini
terkait dengan fungsi kelembagaan, tugas dan wewenang pemerintahan dalam
struktur ketatanegaraan. Setiap elemen pemerintahan harus menjalankan fungsi
pemerintahan yang memenuhi prinsip negara hukum dan asas pemerintahan yang
demokratis.
Itulah sebabnya, UU No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan mengenai keharusan
administrasi pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan yang baik dengan
berlandaskan pada hukum yang berlaku. Bahkan apabila aparatur pemerintahan
tidak bisa menjalankan fungsi pemerintahan, atau melakukan pelanggaran terhadap
fungsi-fungsi pemerintahan, maka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat
kesalahannya. Hal ini memperlihatkan pentingnya eksistensi asas umum
pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan
negara dalam struktur ketatanegaraan. Konsep mengenai AAUPB ini berkaitan
langsung dengan sikap tindak pemerintahan serta pertanggungjawaban terhadap
tindakan mereka dalam menjalankan pemerintahan. AAUPB ini meliputi:
1.
Asas Kepastian Hukum
2.
Asas Kepentingan Umum
3.
Asas Keterbukaan
4.
Asas Kemanfaatan
5.
Asas Ketidakberpihakan/Tidak
Diskriminatif
6.
Asas Kecermatan
7.
Asas Tidak Menyalahgunakan
Kewewenangan
8.
Asas Pelayanan yang Baik
9.
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
10.
Asas Akuntabilitas
11.
Asas Proporsionalitas
12.
Asas Profesionalitas
13.
Asas Keadilan
BAB 4
SUMBER
HUKUM TATA NEGARA
A. Pengertian
Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala apa yang
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni
aturan-aturan yang kalau kalian langgar mengakibatkan timbulnya sanksi yang
tegas dan nyata. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan sumber hukum ialah segala sesuatu bentuk aturan yang menimbulkan sebuah
sanksi apabila aturan tersebut dilanggar oleh orang perseorangan atau badan
hukum maupun lembaga yang menjadi subjek hukum.
Kata sumber hukum biasanya sering
digunakan dalam beberapa arti; 1) sebagai asas hukum; 2) menunjukkan hukum
terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku; 3)
sebagai sumber berlakunya, yang memberikan kekuatan berlakunya secara formal
kepa- da peraturan hukum; 4) sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal
hukum; dan 5) sebagai sumber terjadinya hukum. Oleh sebab itu, sumber hukum
diartikan dalam dua pandangan ketika sumber hukum dimaksudkan sebagaimana
tersebut di atas, yaitu: (i) Sebagai wellborn,
ialah sumber asal, tempat dari mana asalnya hukum, tempat ada dalam alam
pikiran dan kesadaran manusia, mengenai apa yang dilarang dan mengenai apa yang
seharusnya dilakukan; (ii) sebagai kenbron,
ialah sumber kenal, tempat di mana kita mengenal hukum dalam pelbagai peraturan
perudang-undangan yang tertulis.
Dalam pandangan Hans Kelsen istilah
sumber hukum itu dapat mengandung banyak pengertian karena sifatnya yang figurative and highly ambiguous. Pertama, yang lazimnya dipahami sebagai source of law ada dua macam, yaitu custom dan statute. Oleh karena itu, source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customary and
statutory creation of law.
B. Sumber Hukum
Tata Negara Materiel
Dalam berbagai literatur dikenal
mengenai sumber hukum materiel dan sumber hukum formal. Keduanya memiliki
perbedaan yang signifikan, karena sumber hukum materiel menjelaskan mengenai
substansi dari hukum atau substansi hukum dari suatu masyarakat, sedangkan
sumber hukum formal menjelaskan mengenai bentuk hukum yang dija. dikan sebagai
dasar dalam hukum positif. Karena itu jelas perbedaannya, sumber hukum materiel
berbicara mengenai isi dari hukum, sedangkan sumber hukum formal menjelaskan
mengenai bentuk hukum.
Secara umum sumber hukum dalam arti
materiel, yaitu suatu keyakinan/perasaan hukum individu dan pendapat umum yang
menentukan isi hukum. Dengan demikian, keyakinan/perasaan hukum individu (anggota
masyarakat) dan pendapat hukum (legal opinion) dapat menjadi sumber hukum
materiel. Di samping itu, sumber hukum dalam arti materiel ialah sumber dari
substansi hukum berupa perjanjian, kebiasaan-kebia- saan, dan sebagainya yang
dapat memengaruhi pembentukan hukum.
Dalam hukum tata negara, substansi
atau isi hukum ada dalam Pancasila. Pancasila adalah merupakan volkgeist atau
jiwa bangsa. Sebuah bangsa memiliki jiwa yang di dalam nya menyangkut formula
yakni isi hukum tata negara.
C. Sumber Hukum
Tata Negara Formal
Selain sumber hukum tata negara materiel,
dikenal pula sumber hukum tata negara formal, yang berhubungan dengan
sumber-sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini perangkat
kajian positivisme hukum sangat berkaitan dengan eksistensi sumber hukum tata
negara formal, sebab menjadi dasar hukum bagi pembentukan sistem politik,
sistem hukum, sistem pemerintahan, kelembagaan negara, dan kehidupan
ketatanegaraan lainnya yang lebih luas. Adapun sumber hukum tata negara formal
tersebut, yaitu:
1.
Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
b. Ketetapan MPR
c. Undang-Undang/Perpu
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
h. Peraturan Desa
2. Kebiasaan atau Konvensi Ketatanegaraan
3. Yurisprudensi dalam Hukum Tata Negara
4. Traktat
5. Doktrin
BAB 5
KONSTITUSI
A. Pengertian
Konstitusi
Istilah konstitusi dari sudut sejarah
telah lama dikenal, yaltu sejak zaman Yunani Kuno. Diduga "Konstitusi
Athena" yang ditulis oleh seorang Xenophon (abad ke-425 SM) merupakan
konstitusi pertama, konstitusi Athena dipandang sebagai alat demokrasi yang
sempurna. Dapat diduga bahwa pemahaman orang tentang apa yang diartikan
Konsitusi, sejalan dengan pemikiran orang-orang Yunani Kuno tentang Negara. Hal
ini dapat diketahui dari paham Socrates yang kemudian dikembangkan oleh
muridnya Plato, dalam bukunya Politea
atau Negara, yang memuat ajaran-ajaran Plato tentang Negara atau hukum, dan
bukunya Nomoi atau undang-undang, dan
juga tulisan Aristoteles dalam bukunya Politica
yang membicarakan tentang Negara dan hukum (keadilan).
Pengertian kita sekarang tentang
istilah konstitusi berkaitan erat dengan dua perkataan Yunani Kuno politea dan bahasa Latin constitutio. Dari dua perkataan itulah
awal mula gagasan konstitusi diekspresikan. Di Inggris, peraturan yang pertama
kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah Constitusion of Clarendon 1164 yang disebut oleh Henry II sebagai consitution, aviate constitution or leges, a
recordation vel recognition, menyangkut hubungan antara gereja dan
pemerintahan Negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry II. Glanvill
sering menggunakan kata constitution untuk a
royal edict (titah raja atau ratu).
Konstitusi yang ditinjau dari Sisi
hukum disebut Constitutional Recht,
yang diperhatikan ditekankan kepada faktor-faktor kekuasaan nyata dalam
masyarakat, sedangkan Grondswet yang
diperhatikan semata-mata konstitusi dalam arti sempit yaitu yang tertulis atau
Undang-Undang Dasar saja. Berarti ikhwal konstitusi lebih luas daripada grondswet. Konstitusi selalu dihubungkan
dengan hukum dasar suatu Negara. Hukum dasar yang dimaksud bisa berupa hukum
tertulis, tetapi bisa juga hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini, konstitusi
merupakan norma dasar yang mengatur Negara secara umum yang di dalamnya
mencakup kekuasaan Negara, bentuk negara dan bentuk pemerintahan, lembaga
negara dan mekanisme pembagian kekuasaan antara lembaga negara, warga negara,
dan juga hak asasi manusia.
B. Konstitusi
Menurut Para Ahli
Sebagai suatu cabang ilmu hukum,
ada banyak pendapat mengenai konstitusi, ada beberapa ahli yang memberi
pandangan terkait konstitusi, yaitu:
1.
K.C Wheare
2.
E.C.S Wade
3.
Hans Kelsen
4.
Eric Barendt
5.
Michael J. Perry
6.
Herman Heller
7.
Ferdinand Lasalle
8.
Jan Erik Lane
9.
C.F Strong
Pendapat ahli yang paling sering
dijumpai adalah pendapat dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa konstitusi
negara biasanya juga disebut sebagai hukum fundamental negara, yaitu dasar dari
tata hukum nasional. Konstitusi secara yuridis dapat pula bermakna norma-norma
yang mengatur proses pembentukan undang-undang, di samping mengatur pembentukan
dan kompetensi dari organ-organ eksekutif dan yudikatif.
C. Sifat dan
Bentuk Konstitusi
Sebagai hukum dasar suatu negara,
konstitusi memiliki sifat dan bentuk yang dapat dijadikan sebagai alat ukur.
Dari segi sifat, konstitusi dapat lentur atau fleksibel dan bisa juga kaku.
Sifat yang fleksibel dan kaku ini disebabkan oleh bentuk konstitusi tersebut.
Pada umumnya, konstitusi yang tertulis biasanya bersifat kaku karena tidak
serta-merta bisa dilakukan perubahan apabila terjadi perkembangan dalam masyarakat.
Sementara pada konstitusi yang tidak tertulis, ada kemudahan untuk menyesuaikan
dengan perubagan dalam masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka menurut K.C.
Wheare, sifat dari konstitusi dapat dibagi sebagai berikut:
1.
Konstitusi Tertulis dan Tidak
Tertulis
2.
Fleksibel atau Rigid
Sifat
konstitusi yang fleksibel dan juga kaku (rigid) bergantung pada tiga hal,
yaitu:
a.
Mudah-tidak mudah diubah
b. Mudah-tidak mudah dalam
menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat
c.
Tergantung kekuatan yang nyata,
yang ada dalam masyarakat
D. Materi Muatan
Konstitusi
Pada dasarnya, materi muatan
konstitusi dapat dilihat substansinya seperti:
1.
Bentuk negara
2.
Bentuk pemerintahan
3.
Sistem pemerintahan
4.
Organ-organ negara
5.
Pembagian kekuasaan atas
organ-organ negara
6.
Cara memperoleh kekuasaan untuk
menduduki jabatan-jabatan dalam organ negara.
7.
Perlindungan terhadap HAM
8.
Kewarganegaraan
9.
Perubahan Konstitusi
Adapun menurut Hans Kelsen, dalam
tulisannya yang berjudul General Theory
od Law and State, Konstitusi berisi:
1.
Pembukaan;
2.
Penentuan isi ketentuan-ketentuan
pada masa yang akan dating;
3.
Penentuan fungsi administratif dan
yudikatif;
4.
Hukum yang inkonstitusional;
5.
Pembatasan konstitusional;
6.
Perlindungan hak;
7.
Jaminan konstitusi;
E. Kedaulatan
Dalam Konstitusi
Setelah kita mendapat gambaran
tentang apa yang dimaksud dengan konstitusi, perlu diperjelas apa yang dimaksud
dengan kedaulatan. Oleh karena kedaulatan ini terdapat dalam konstitusi.
Jenis-jenis kedaulatan yang dimaksud, sebagai berikut:
1.
Kedaulatan Tuhan
2.
Teori Kedaulatan Raja
3.
Kedaulatan Negara
4.
Teori Kedaulatan Hukum
5.
Teori Kedaulatan Rakyat
F. Tafsir
Konstitusi
Beberapa metode penafsiran Hukum
yang dikemukakan oleh para sarjan sebagai berikut:
1.
Interpretasi Gramatikal
2.
Interpretasi Restriktif
3.
Interpretasi Ekstensif
4.
Interpretasi Literal atau Tekstual
5.
Interpretasi Autentik
6.
Interpretasi Sistematik
7.
Interpretasi Historis
8.
Interpretasi Teleologis
9.
Interpretasi Sosiologis
10.
Interpretasi Holistik
11.
Interpretasi Futuristik
12.
Interpretasi Komparatif
(Perbandingan)
13.
Interpretasi Filosofis
G. Perubahan
Konstitusi
Orang sepakat bahwa bagaimanapun
sempurnanya suatu konstitusi, namun dalam kenyataan ia akan tetap tertinggal
dari perkembangan masyarakat. Karena itu dapat dimengerti, bagaimanapun juga
setiap konstitusi itu pada saat akan mengalami perubahan. Perubahan itu
dimaksud untuk menyesuaikan konstitusi itu dengan perkembangan masyarakat. Dari
sudut inilah, dirasakan perlunya suatu pasal dari setiap konstitusi yang
mengatur tentang prosedur perubahan. Umpamanya dalam konstitusi Amerika
Serikat, Article V adalah article yang mengatur tentang cara
perubahan, demikian pula dalam Undang-Undang Dasar 1945, hal yang sama diatur
dalam Pasal 37. Perubahan konstitusi sebenarnya dilakukan saat tuntutan besar
dari masyarakat atau saat konstitusi tidak mampu lagi mengatur dan mengawasi
berbagai bentuk dinamika perkembangan zaman yang sangat pesat. Sebelumnya telah
dibahas mengenai prosedur atau cara mengubah konstitusi menurut ahli hingga
yang tertuang dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945. Selain cara perubahan
konstitusi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, di sini perlu juga
dipaparkan bagaimana masalah sistem perubahannya.
Apabila dipelajari secara teliti
mengenai sistem perubahan konstitusi di berbagai negara, paling tidak ada dua
sistem yang sedang berkem- bang, yaitu renewel
(pembaruan) dianut di negara-negara Eropa kontinental dan amandement (perubahan) seperti dianut negara-negara Anglo Saxon.
Sistem yang pertama ialah, apabila suatu konstitusi (UUD) yang dilakukan
perubahan (dalam arti dilakukan pembaruan), maka yang diberlakukan adalah
konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut sistem
ini ialah Belanda, Jerman, dan perancis. Sistem yang kedua ialah, apabila suatu
konstitusi diubah (diamendemen), maka konstitusi yang asli tetap berlaku.
Dengan kata lain, hasil amendemen tetap merupakan bagian atau dilampirkan dalam
konstitusinya
BAB 6
SEJARAH
KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Pengertian
Kata "sejarah" berasal
dari bahasa Arab, yakni dari kata syajaratun
(dibaca syajarah), yang memiliki arti "pohon kayu". Pengertian
"pohon kayu" di sini adalah adanya suatu kejadian,
perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu
kesinambungan (konti- nuitas). Selain itu ada pula peneliti yang menganggap
bahwa arti kata "syajarah" tidak sama dengan kata
"sejarah", sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai "pohon keluarga"
atau asal usul atau silsilah. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan
antara kata "syajarah" dan kata "sejarah", karena sejarah
berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat, dan asal usul tentang seseorang
atau kejadian.
Yang dimaksud dengan sejarah
ketatanegaraan dalam tulisan ini adalah perkembangan ketatanegaraan atau
dinamika ketatanegaraan, yakni terkait dengan konstitusi, kelembagaan negara,
sistem pemerintahan, bentuk negara, bentuk pemerintahan, serta hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan secara umum dalam konteks historis.
Sejarah ketatanegaraan dalam bab ini dimulai dari masa pra-proklamasi, yang
tentu saja penulis tidak mengulurnya terlalu jauh ke belakang, seperti di masa
Boedi Utomo misalnya, tetapi dimulai dari rumusan awal konsepsi ketatanegaraan
diperdebatkan. Karena itu, sejarah ini dimulai saat sidang pertama Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saat Muh. Yamin
membuka dengan pidatonya pada 29 Mei 1945, yang dilanjutkan oleh Soepomo pada
31 Mei 1945 dan yang teakhir adalah Soekarno pada 1 Juni 1945. Diskursus
konseptual mengenai sistem ketatanegaraan Indonesia yang dimulai dari masa ini
merupakan langgam historical yang tak ter- elakkan, bahwa fondasi
konstitusional Indonesia merdeka dibangun dari sini. Dalam konteks yang lebih
dalam lagi, bahwa dasar-dasar negara ditemukan, bermula dari sidang perdana
BPUPKI ini.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia
dimulai dari:
1.
Periode Pra-Proklamasi 1945
2.
Periode 17 Aguustus 1945-1949
3.
Periode Konstitusi RIS 1949
4.
Periode UUDS 1950
5.
Periode kembali ke UUD 1945
6.
Periode Pasca-Amendemen UUD NRI
1945
BAB 7
LEMBAGA
NEGARA
A. Pengertian
Lembaga Negara
Secara
terminologis, lembaga negara menggunakan istilah "political instituion" dalam kepustakaan Inggris, "staatorganen" dalam kepustakaan
Belanda, dan "lembaga negara, badan negara, atau organ negara" dalam
bahasa Indonesia. Dalam konteks lain, Lembaga Negara juga sering kali
menggunakan istilah organ negara, di mana lembaga negara juga merupakan bagian
negara yang menjalankan fungsi atau kewenangan. Oleh sebab itu, menurut Hans
Kelsen, "Whoever fulfills a function
detemined by the legal order is an organ". Siapa saja yang menjalankan
suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ.
Untuk
memahami pengertian organ atau lembaga secara lebih dalam kita dapat
mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state-organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan, "Whoever fulfills a fanctiondetermined by the
legal order is an organ. " (Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi
yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal
order) adalah suatu organ.) Artinya organ-organ itu tidak selalu berbentuk
organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap
jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan
fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying
character, are all ultimately aimed at the dexecution of a legal sanction.
B. Lembaga
Negara Lapis Pertama
1.
Majelis Permusyaratan Rakyat
2.
Dewan Perwakilan Rakyat
3.
Dewan Perwakilan Daerah
4.
Presiden
5.
Badan Pemeriksa Keuangan
6.
Mahkamah Konstitusi
7.
Mahkamah Agung
8. Komisi
Yudisial
C. Lembaga
Negara Lapis Kedua
1.
Menteri Negara
2.
Tentara Nasional Indonesia
3.
Kepolisian Negara Republik
Indonesia
4.
Komisi Pemilihan Umum
5.
Dewan Pertimbangan Presiden
6. Bank
Sentral
D. Auxiliary
State Organ (Lembaga Negara Bantu Sebagai Lapis Ketiga)
1.
Lembaga dengan Nama “Badan”
2.
Lembaga dengan Nama “Dewan”
3.
Lembaga dengan Nama “Komisi”
4.
Lembaga dengan Nama “Komite”
5. Lembaga
dengan Nama “Lembaga”
BAB 8
SISTEM
PEMERINTAHAN
A. Pengertian
Sistem Pemerintahan
Terhadap kata atau istilah
"sistem", Carl J. Friedrich—sebagaimana yang dikutip oleh Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim—memaknai sebagai suatu keseluruhan, terdiri dari
beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional, baik antara bagian-bagian
maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu
membentuk suatu ketergantungan antara bagian yang akibatnya jika salah satu bagian
tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keseluruhannya itu. Berbeda dengan
Visser T. Hooft—sebagaimana yang dikutip oleh Sirajuddin, dkk.—memaknai kata
"sistem" sebagai sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur dan
komponen yang selalu pengaruh-memengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu
atau beberapa asas. Nampak bahwa Carl J. Friedrich lebih memfokuskan makna
"sistem" sebagai sesuatu yang bekerja secara keseluruhan yang
bersifat fungsional, sedangkan bagi Visser T. Hooft lebih memfokuskan pada
gabungan beberapa unsur dan kompo- nen yang terdiri dari satu atau beberapa
asas. Makna "sistem" juga dapat ditemukan pada Black's Law Dictionary yang diartikan sebagai "orderly combination or arrangement, as of
particy- lars, parts or elements into a whole; especially such combination
according to some rational principle"
Berdasarkan pemaknaan istilah
"sistem" dan "pemerintahan" di atas, maka menurut Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan
bagaimana pembagaian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara
yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu dalam rangka menyelenggarakan
kepentingan rakyat.
Pembagian sistem pemerintahan:
1.
Sistem Pemerintahan Presidensial
2.
Sistem Pemerintahan Parlementer
3.
Sistem Pemerintahan Campuran
4.
Sistem Pemerintahan Referendum
B. Sistem
Pemerintahan di Indonesia
Sri Soemantru kemudian membagi
sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia ke dalam dua kategorisasi yang
didasarkan atas pengaturan konstitusi (UUD) yang pernah berlaku di Indonesia,
yakni:
1.
Sistem Pemerintahan Sebelum
Perubahan UUD 1945
2.
Sistem Pemerintahan Sesudah
Perubahan UUD 1945
1. Sistem
Pemerintahan Sebelum Perubahan UUD 1945
Berdasarkan uraian yang dipaparkan
oleh Sri Soemantri, dapat diperinci ciri sistem pemerintahan di Indonesia
sebelum amendemen UUD 1945, sebagai berikut:
a.
MPR merupakan penjelmaan dari rakyat
Indonesia yang memliki sejumlah kekuasaan, yaitu menetapkan dan mengubah
Undang-Undang Dasar, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan
memilih presiden dan wakil presiden—ciri-ciri pemerintahan parlementer;
b.
Karena presiden dan wakil presiden
dipilih oleh MPR, maka presi- den dan wakil presiden tunduk dan bertanggung
jawab kepada MPR selaku penjelmaan dari kedaulatan rakyat Indonesia—ciri-ciri
pemerintahan parlementer,
c.
Presiden merupakan memegang
kekuasaan pemerintahan (eksekutif dan dibantu oleh para menteri yang diangkat
dan diberhentikan sendiri oleh presiden. Masa jabatan presiden selama lima
tahun—ciri- ciri sistem pemerintahan presidensial;
d.
Dalam praktiknya, pemberhentian
presiden oleh MPR pernah terjadi pada sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
semasa kepemimpinan presiden Soekarno melalui Ketetapan MPRS-RI XXXIII/
MPRS/1967 tentang pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden
Soekarno. Begitu pula pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid
melalui Ketetapan MPR-RI No. II/ MPR/2001 tentang Pertanggungiawaban Presiden
Republik Indonesia K.H. Abdurahman Wahid."
2. Sistem
Pemerintaham Sesudah Perubahan UUD 1945
Amendemen keempat UUD 1945
(1999-2002) telah banyak menggeser pelaksana kekuasaan pemerintahan negara.
Utamanya Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia digeser secara mendasar
melalui amendemen UUD 1945—utamanya pada amendemen ketiga (9 November 2001).
Sri Soemantri mengemukakan perubahan ketiga dilakukan— menurut teori
konstitusi—terhadap susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar. Bahkan ada
substansi penjelasan yang sifatnya normatif dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD
1945.
Adapun perubahan ketiga ini
meliputi:
a.
Kedudukan dan kekuasaan MPR;
b.
Negara Indonesia adalah negara
hukum;
c.
Jabatan presiden dan wakil
presiden. Hal ini berkenaan dengan:
i. Tata
cara pemilihan;
ii. Pemilihan presiden dan wakil presiden langsung
oleh rakyat;
iii. Pembentukan
lembaga negara baru, seperti Mahkamah Konsti- tusi, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Komisi Yudisial;
iv. Pengaturan
tambahan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan;
v. Pemilihan
umum.
BAB 9
PEMERINTAHAN
DAERAH
A. Pengertian
Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan
rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
Seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. pengertian yang dikemukakan di atas secara konseptual menyebut kata
"pemerintahan". Pemerintahan berarti bermakna luas, tidak Saja organ
eksekutif, tetapi juga menyangkut organ legislatif dan organ yudikatif. Karena
itu, para ahli membagi arti pemerintahan ke dalam dua arti, yakni: pertama,
pemerintahan dalam arti luas, yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif sebagaimana yang penulis nyatakan di atas. Kedua, pemerintahan
dalam arti sempit; yakni yang menyangkut hanya eksekutif saja, yakni
pemerintah.
B. Asas
Pemerintahan Daerah
Dalam konteks otonomi daerah,
pemerintahan daerah bertumpu tiga asas sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 5
ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni:
1.
Desentralisasi
2.
Dekonsentrasi
3.
Medebewind
(Tugas Pembantuan)
C. Pembagian
Urusan Pemerintahan
Dalam konteks pemerintahan daerah,
urusan pemerintahan dibagi atau dipilah-dipilah sesuai dengan kebutuhan yang
ada di suatu negara, dan di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dari sistem
negara kesatuan yang dianut. Dalam hal ini, urusan pemerintahan yang ada pada
peme- rintahan daerah hanyalah sisa urusan yang diberikan oleh pemerintah
pusat. Pemerintah daerah sebagai satu-kesatuan dari pemerintah pusat memperoleh
tugas-tugas yang menjadi urusan pemerintahannya melalui peraturan
perundang-undangan dengan berdasarkan logika bentuk nega- ra sebagaimana yang
dimandatkan oleh UUD NRI tahun 1945. Urusan Pemerintahan terdiri atas:
1.
Urusan Pemerintahan Absolut
Meliputi:
a)
Politik Luar Negeri
b)
Pertahanan
c)
Keamanan
d)
Yutisi
e)
Moneter dan fiscal nasional
f)
Agama
2.
Urusan Pemerintahan Konkuren
· Urusan
Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat:
a)
pendidikan;
b)
kesehatan;
c)
pekerjaan umum dan penataan ruang;
d)
perumahan rakyat dan kawasan
permukiman;
e)
ketenteraman, ketertiban umum, dan
pelindungan masyarakat; dan
f)
sosial.
· Urusan
pemerintahan wajib yang tidak berhubungan dengan masyarakat:
a)
tenaga kerja;
b)
pemberdayaan perempuan dan
pelindungan anak;
c)
pangan;
d)
pertanahan;
e)
lingkungan hidup;
f)
administrasi kependudukan dan
pencatatan sipil;
g)
pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h)
pengendalian penduduk dan keluarga
berencana;
i)
perhubungan;
j)
komunikasi dan informatika;
k)
koperasi, usaha kecil, dan
menengah;
l)
penanaman modal;
m)
kepemudaan dan olahraga;
n)
statistik;
o)
persandian;
p)
kebudayaan;
q)
perpustakaan; dan
r)
kearsipan.
· Urusan
Pemerintahan pilihan meliputi:
a)
kelautan dan perikanan;
b)
pariwisata;
c)
pertanian;
d)
kehutanan;
e)
energi dan sumber daya mineral;
f)
perdagangan;
g)
perindustrian; dan
h)
transmigrasi.
3.
Urusan Pemerintahan Umum
Meliputi:
a)
pembinaan wawasan kebangsaan dan
ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka
Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b)
pembinaan persatuan dan kesatuan
bangsa;
c)
pembinaan kerukunan antarsuku dan
intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas
kemanan lokal, regional, dan nasional;
d)
penanganan konflik sosial sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e)
koordinasi pelaksanaan tugas
antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota
f)
pengembangan kehidupan demokrasi
berdasarkan Pancasila; dan
g)
pelaksanaan semua Urusan
Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh
Instansi Vertikal.
D, Unsur
Pemerintahan Daerah
Unsur Pemerintahan Daerah terdiri
atas tiga komponen yakni:
1.
Pemerintah Daerah
2.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3.
Perangkat Daerah
Pembagian ini sudah sesuai dengan
yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
pemerintahan Daerah. Pemerintah daerah adalah kepala daerah yang berfungsi
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1.
Pembentukan peraturan daerah
(Perda)
2.
Anggaran
3.
Pengawan
Peraturan perundang-undangan juga
menetapkan mengenai Hak DPRD, yakni:
1.
Hak Interpelasi
2.
Hak Angket
Dan selanjutnya Kepala daerah dan
DPRD dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dibantu oleh perangkat daerah,
yang terdiri atas:
Perangkat daerah Provinsi:
1.
Sekretariat daerah
2.
Sekretariat DPRD
3.
Inspektorat
4.
Dinas
5.
Badan
Perangkat daerah kabupaten/kota:
1.
Sekretariat daerah
2.
Sekretariat DPRD
3.
Inspektorat
4.
Dinas
5.
Badan
6.
Kecamatan
E. Kewenangan
Daerah Dalam Negara Kesatuan
Di dalam negara kesatuan, pemerintah
pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara. Agar tidak sewenang-wenang,
aktivitas pemerintah pusat diawasi dan dibatasi oleh undang-undang. Konsekuensi
logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara, maka unit-unit pemerintahan
yang dibentuk dan berada di bawah pemerintah pusat, harus tunduk kepada
pemerintah pusat. Tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara organisasional
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan menjadi
tumpang-tindih dan tabrakan dalam pelak- sanaan kewenangan (prinsip unity
command). Di dalam negara kesatuan tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Akan
tetapi, karena sistem pemerintahan indonesia salah satunya menganut asas negara
kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus
sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya
hubungan kewenangan, keuangan, pengawasan, dan antarsatuan organisasi pemerintahan.
BAB 10
PEMERINTAHAN
DESA
A. Pengertian
Pemerintahan Desa
Pengertian pemerintahan desa
sebenarnya telah termuat secara jelas melalui Pasal 1 Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa. Pemerintah desa sejatinya juga merupakan bagian sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang titik semangatnya terletak pada
semangat desentralisasi yang dibangun selama ini.
Secara konstitusional, pemerintahan
desa dapat ditarik melalui Pasal 18 UUD NRI 1945 walaupun pada rumusan
konstitusi yang ada saat ini tidak menyebut secara khusus kata "desa".
Namun semangat yang terbangun pada Pasal 18 menjadi salah satu semangat besar
lahirnya pemerin- tahan desa, tentu seirama dengan semangat desentralisasi yang
selama ini dibangun. Posisi pemerintah desa dalam konstelasinya dengan praktik
desentralisasi dan otonomi daerah baru terlihat secara jelas setelah terbitnya.
B. Tentang Desa
Desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenang- an untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Desa
adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
C. Asas, Tujuan,
dan Fungsi Pemerintahan Desa
Menurut UU Desa, tujuan pengaturan
desa yakni:
1.
Memberikan pengakuan dan
penghormatan atas desa yang sudah ada keberagamannya sebelum dan sesudah
terbentuknya NKRI.
2.
Memberikan kejelasan status dan
kepastian hukum atas desa
3.
Melestarikan dan memajukan adat,
tradisi, dan budaya masyarakat desa.
4.
Mendorong prakarsa, gerakan, dan
partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan asset desa guna
kesejahteraan bersama
5.
Membentuk pemerintahan desa yang
professional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab.
6.
Meningkatkan pelayanan publik bagi
warga masyarakat desa
7.
Meningkatkan ketahanan sosial
budaya masyarakat desa
8.
Memajukan perekonomian masyarakat
desa
9.
Memperkuat masyarakat desa sebagai
subjek pembangunan
Adapun asas pemerintahan desa,
sebagai berikut:
1.
Rekognisi
2.
Subsidiaritas
3.
Keberagaman
4.
Kebersamaan
5.
Kegotongroyongan
6.
Kekeluargaan
7.
Musyawarah
8.
Demokrasi
9.
Kemandirian
10.
Partisipasi
11.
Kesetaraan
12.
Pemberdayaan
13.
Keberlanjutan
D. Unsur-Unsur
Pemerintahan dan Pemerintah Desa
Unsur-unsur pemerintahan dan
pemerintah desa meliputi:
1.
Kepala Desa
2.
Perangkat Desa
a)
Sekretariat Desa
b)
Pelaksana Kewilayahan
c)
Pelaksana Teknis
3.
Badan Permusyawaratan Desa
E. Struktur
Organisasi Perangkat Desa
Perangkat desa merupakan salah satu
unsur dalam pelaksanaan pemerintahan desa, perangkat desa membantu kepala desa
dalam menjalankan tugasnya. Perangkat desa terdiri atas sekretariat desa,
pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis.
Sekretariat desa dipimpin oleh
sekre. taris desa dan dibantu oleh unsur staf sekretariat. Sekretariat desa
paling banyak terdiri atas tiga urusan, yaitu urusan tata usaha dan umum, urusan
keuangan, dan urusan perencanaan, dan paling sedikit dua urusan yaitu urusan
umum dan perencanaan, dan urusan keuangan masing-masing urusan dipimpin oleh
kepala urusan. Pelaksana kewilayahan merupakan unsur pembantu kepala desa
sebagai satuan tugas kewilayahan. Jumlah unsur pelaksana kewilayahan ditentukan
secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang dibutuhkan dengan
kemampuan keuangan desa serta memperhatikan luas wilayah kerja, karakteristik,
geografis, jumlah kepadatan penduduk, serta sarana prasarana penunjang tugas.
Tugas kewilayahan meliputi, penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat
desa.
Pelaksana kewilayahan dilaksanakan
oleh kepala dusun atau sebutan lain yang ditetapkan lebih Ianjut dalam
peraturan bupati/walikota densan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat. Pelaksana teknis merupakan unsur pembantu kepala desa sebag'tl
pelaksana tugas operasional. Pelaksana teknis paling banyak terdiri atas tiga
seksi, yaitu seksi pemerintahan, seksi kesejahteraan dan seksi pe layanan,
paling sedikit dua seksi yaitu seksi pemerintahan, Serta kesejahteraan dan
pelayanan. Masing-masing seksi dipimpin oleh kepala
F. Pembangunan
Desa
Undang-Undang Desa secara tegas
telah membedakan antara pembangunan desa yang menempatkan desa sebagai subjek
pembangunan dan pembangunan pedesaan yang menjadi domain pemerintah. Hal ini
terlihat dengan adanya pengaturan khusus tentang pembangunan desa dan
pembangunan kawasan pedesaan. Pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui penyediaan
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan Sarana dan prasarana, pengembangan potensi
ekonomi Iokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, UU Desa menggunakan dua pendekatan, yaitu "desa
membangun" dan "membangun desa" yang diintegrasikan dalam
perencanaan pembangunan desa. Sebagai konsekuensinya, desa menyusun perencanaan
pembangunan desa yang mengacu kepada perencanaan pembangunan kabupaten/kota.
Konsep perencanaan pembangunan desa yang diatur dalam UU Desa mengalami
kemajuan dan perubahan dibandingkan dengan substansi yang diatur dalam PP No.
72 Tahun 2005 tentang Desa. Sebelumnya, perencanaan desa merupakan bagian dari
perencanaan kabupaten/kota. Sekarang, perencanaan pembangunan desa adalah Village-self Planning yang berdiri
sendiri dan diputuskan sendiri oleh desa.
G. Peraturan
Desa
Selain terdapat peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Bupati bersama DPRD, terdapat juga
peraturan di tingkat desa, yang dibahas bersama oleh kepada desa dengan BPD.
Jenis peraturan ini dari segi prosesnya masih sederhana, meskipun dapat dikategorikan
sebagai suatu peraturan perundang-undangan.
Jenis peraturan di desa terdiri
atas peraturan desa, peraturan bersama kepala desa, dan peraturan kepala desa.
Peraturan tersebut dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Desa
ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawa- ratan Desa. Rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa harus
mendapatkan evaluasi dari bupati/walikota sebelum ditetapkan menjadi peraturan
desa. Hasil evaluasi tersebut diserahkan oleh bupati/ walikota paling lama 20
hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh
bupati/walikota. Dalam hal bupati/walikota telah memberikan hasil evaluasi, kepala
desa wajib memperbaikinya. Kepala desa diberi waktu paling lama 20 hari sejak
diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.
H. Keuangan Desa
Keuangan desa adalah semua hak dan
kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang
dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Keuangan
desa pada UU Desa diatur pada Bab VIII tentang Keuang. an Desa dan Aset Desa
yang terdiri dari beberapa pasal. Secara umum, bahasan keuangan desa dapat
dikelompokkan menjadi beberapa tema, yaitu lingkup keuangan desa, pendapatan
desa, APB Desa, belanja dan aset desa.
Dalam proses pembahasan di DPR,
perdebatan terbesar ada pada rancangan pasal yang mengatur tentang pendapatan
desa, khususnya pasal 72 paling intensif dibahas. Sutoro Eko (2014) mengutip
pernyataan dari Ketua Pansus RUU Desa, Ahmad Muqowwam, menyatakan bahwa jika UU
Desa diperas menjadi satu pasal, maka pasal itu adalah Pasal 72 yang berisi sumber-sumber
pendapatan desa. Lingkup keuangan desa dibahas di Pasal 71 UU Desa. Pasal ini
membatasinya dengan semua hak dan kewajiban yang menimbulkan pendapatan,
belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan desa. Pasal lain terkait hal ini adalah
Pasal 73 yang mengatur tentang struktur APB Desa yang terdiri dari pendapatan,
belanja, dan pembiayaan desa. Rancangan APB Desa diajukan oleh kepala desa dan
kemudian dimusyawarahkan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan hasilnya
ditetapkan dalam bentuk peraturan desa.
BAB 11
KEWARGANEGARAAN
A. Pengertian
Kewarganegaraan
Kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu status menurut
hukum dari suatu negara yang memberi keuntungan-keuntungan hukum tertentu dan
membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada individu. Adapun kebangsaan (nationality) sebagai istilah hukum
internasional menunjuk kepada ikatan seorang individu terhadap suatu negara
yang memberi kepada suatu negara hak untuk mengatur atau melindungi bangsanya,
meski di luar negeri sekalipun. Sudargo Gautama mengartikan kewarganegaraan
sebagai ikatan an- tara individu dan negara, yaitu individu merupakan anggota
penuh secara politik dalam negara itu dan berkewajiban untuk tetap setia kepada
negara (pennanence of allegiance),
tetapi sebaliknya negara berkewajiban melindungi individu tersebut di mana pun
ia berada.
B. Asas
Kewarganegaraan
Menurut penjelasan umum Undang-Undang
No. 12 Tahun 2006, terkandung asas kewarganegaraan umum dan kewarganegaraan
khusus. Asas kewarganegaraan umum meliputi:
1.
Asas ius sanguinis, yaitu asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan
negara tempat kelahiran.
2.
Asas ius soli terbatas, yaitu asas
yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran yang
secara terba- tas diberlakukan bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan undang-
undang ini.
3.
Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu
asas yang menentukan satu ke- warganegaraan bagi setiap orang.
4.
Asas kewarganegaraan ganda
terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Adaun
asas kewarganegaraan khusus yang terkandung diundang-undang ini, meliputi:
1. Asas
kepentingan nasional
2. Asas
perlindungan maksimum
3. Asas
persamaan di muka hukum dan pemerintah
4. Asas
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
5. Asas
keterbukaan
C.
Kewarganegaraan Berdasarkan UU Kewarganegaraan
Menurut C.S.T. Kansil, dalam
menentukan status kewarganegaraan seseorang melalui naturalisasi digunakan dua
stelsel. Pertama, stelsel aktif di mana untuk menjadi warga suatu negara,
seseorang harus melakukan tindakan-tindakan hukum secara aktif. Kedua, stelsel
pasif, di mana seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai warga negara tanpa
melak kan suatu tindakan hukum.
Melalui dua stelsel tersebut, maka
seseorang memiliki hak untuk memilih dan menentukan status kewarganegaraannya,
yakni melalui hak opsi, di mana seseorang diberi hak untuk memilih status
kewarganegaraan dengan cara stelsel aktif dan hak repudiasi, di mana seseorang
berhak untuk menolak status kewarganegaraannya.
Menurut Pasal 9 UU No. 12 Tahun
2006, Indonesia memberi kesem- patan kepada orang asing (bukan warga negara RI)
untuk menjadi warga negara Indonesia. Caranya ialah pewarganegaraan atau naturalisasi.
Seorang asing yang ingin menjadi warga negara RI dengan cara pewarganegaraan
harus mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman.
D. Cara
Penentuan Kewarganegaraan
Dala, menentukan kewarganegaraan
beberapa negara memakai asas ius soli,
sedangkan di negara Iain berlaku asas ius
sanguinis. Hal demikian itu menimbulkan dua kemungkinan, yaitu:
1. Apatride,
yaitu adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan.
2. Bipatride,
yaitu adanya seorang penduduk yang mempunyai dua macam kewarganegaraan
sekaligus (kewarganegaraan rangkap atau dwikewarganegaraan).
Pasal I ayat (1) UU Kewarganegaraan
secara normatif menentukan, bahwa warga negara adalah warga suatu negara yang
ditetapkan berda- sarkan peraturan perundang-undangangan. Undang-Undang
Kewarganegaraan juga menentukan, bahwa yang berhak menjadi WNI adalah setiap
orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan berdasar- kan
perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara Iain sebe- lum UU
kewarganegaraan ini diundangkan sudah menjadi WM. Selain ketentuan itu, yang
menjadi WNI secara otomatis disebabkan oleh tiga peristiwa hukum: (1)
berdasarkan keturunan dari orangtua (ius
sanguinis); (2) berdasarkan tempat kelahiran (ius soli) dan (3) proses pengangkatan anak (adopsi).
BAB 12
HAK
ASASI MANUSIA
A. Pengertian
Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah
hak-hak yang melekat pada diri manusia, tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat
hidup layak sebagai manusia. Hak tersebut diperoleh bersama dengan kelahirannya
atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat (Tilaar, 2001). HAM bersifat
umum (universal) karena diyakini beberapa hak dimiliki tanpa perbe- daan atas
bangsa, ras, atau jenis kelamin. HAM juga bersifat supralegal, artinya tidak
bergantung pada pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi karena
berasal dari sumber yang lebih tinggi (Tuhan). Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada
hakikat keberadaan manusia dengan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi
manusia telah menjadi bahasa sehari-hari di kalangan birokrasi, militer maupun
di kalangan masyarakat umum. Sebelum membahas lebih jauh, maka untuk menghindari
kesalahan pendefinisian/kesalahan pengertian dalam tulisan ini, dikemukakan beberapa
pendapat mengenai hak asasi manusia. Terdapat beberapa terminologi yang
biasanya digunakan dalam tradisi akademik tentang sebutan HAM. Istilah satu
dengan lainnya masing- enggunakan salah satu di antaranya telah ter- wakilkan
pula yang lainnya. Istilah-istilah dimaksudkan sebagai berikut:
1.
Human
rights.
2.
Natural
rights.
3.
Fundarnental
rights.
4.
Civil
rights.
5.
Hak
asasi manusia.
B. Sejarah Hak
Asasi Manusia
Hak asasi adalah hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran/kehadirannya
di dalam kehidupan dan masyarakat. Berawal dari dua perang besar di dunia
(Perang Dunia I dan II) timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia
naskah internasional. Usaha ini pada 1948 berhasil dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights
(pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia) oleh negara-negara yang tergabung
dalam PBB. Secara historis, hak asasi manusia selalu diwarnai oleh serangkaian
perjuangan yang tidak jarang bahkan menjelma dalam bentuk revolusi. sejarah
juga mencatat banyak kejadian di mana orang, baik secara individu maupun
kelompok, mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan lain untuk
memperjuangkan apa yang dianggap sebagai haknya, bahkan terkadang disertai dengan
taruhan jiwa dan raga.
C. Jenis-Jenis
Hak Asasi Manusia
Menurut Pasal 3-21 DUHAM, hak
personal, hak legal, hak sipil, dan politik meliputi:
1. Hak
untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi.
2. Hak
bebas dari perbudakan dan penghambaan.
3. Hak
bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berperkemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan.
4. Hak
untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi.
5. Hak
untuk pengampunan hukum secara efektif.
6. Hak
bebas dari penangkapan, penahanan, atau pernbuangan yang sewenang-wenang.
7. Hak
untuk peradilan yang independen dan tidak memihak.
8. Hak
untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah.
9. Hak
bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi,
keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat.
10. Hak
bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik.
11. Hak
atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu.
12. Hak bergerak.
13. Hak
memperoleh suaka.
14. Hak atas satu kebangsaan.
15. Hak
untuk menikah dan membentuk keluarga.
16. Hak
untuk mempunyai hak milik.
17. Hak
bebas berpikir, berkesadaran, dan beragama.
18. Hak
bebas berpikir dan menyatakan pendapat.
19. Hak
untuk berhimpun dan berserikat.
20. Hak
untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap
pelayanan masyarakat.
Sementara itu dalam UUD 1945
(amendemen I-IV UUD 1945) memuat hak asasi manusia yang terdiri dari hak:
1. Hak
Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.
2. Hak
kedudukan yang Sama di depan hukum.
3. Hak
kebebasan berkumpul.
4. Hak
penghidupan yang layak.
5. Hak
kebebasan berserikat,
6. Hak
memperoleh pengajaran atau pendidikan.
Selanjutnya secara operasional
beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
sebagai berikut:
1. Hak
untuk hidup.
2. Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3. Hak
mengembangkan diri. Hak memperoleh keadilan.
4. Hak
atas kebebasan pribadi. Hak atas rasa aman. Hak atas kesejahteraan. Hak turut
serta dalam pemerintahan.
5. Hak
wanita.
6. Hak
anak.
D. Pengaturan
Hak Asasi Manusia Di Indonesia
Rumusan HAM yang masuk dalam UUD NRI
1945 dapat dibagi dalam beberapa aspek, yaitu:
1. HAM
berkaitan dengan hidup dan kehidupan.
2. HAM
berkaitan dengan keluarga.
3. HAM
berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
4. HAM
berkaitan dengan pekerjaan.
5. HAM
berkaitan dengan kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan, kebebasan
bersikap, dan berserikat.
6. HAM
berkaitan dengan informasi dan komunikasi.
7. HAM
berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat manusia.
8. HAM
berkaitan dengan kesejahteraan sosial.
9. HAM
berkaitan dengan persamaan dan keadilan.
Bentuk pengaturan lebih lanjut tentang
hak asasi manusia sebagaimana amanat UUD, sebagai berikut:
1. Sesuai
dengan pengaturan pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya telah ditetapkan
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 ten- tang Kernerdekaan Menyampaikan pendapat Di
Muka Umum dan Undang-Undang NO. 39 tentang Hak Asasi Manusia.
2. Sesuai
dengan pengaturan kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, telah
ditetapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis.
3. Sesuai
dengan pengaturan pasal 281 ayat (5) tentang penegakan dan pelindungan hak
asasi manusia, telah ditetapkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Secara garis besar, Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 yang mengatur hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
(Pasal 9 s/d 66), terdiri dari:
1. Hak
untuk hidup.
2. Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3. Hak
mengembangkan diri.
4. Hak
memperoleh keadilan.
5. Hak
atas kebebasan pribadi.
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak
atas kesejahteraan.
8. Hak
turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak
wanita dan hak anak.
BAB 13
PEMILIHAN
UMUM
A. Pengertian
Pemilu
Salah satu cara atau sarana untuk
menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan
adalah dengan melaksanakan pemilu. Pemilihan umum adalah proses memilih orang
untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut
beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat
pemerintahan, sampai kepala desa. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk
memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika,
public relations, komunikasi massa, lobby, dan lain-lain kegiatan. Meskipun
agitasi dan propaganda di negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye
pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakai Oleh
para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Apabila ditelisik lebih jauh lagi,
definisi pemilu menurut beberapa undang-undang juga memiliki kesamaan. Dalam UU
No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat adalah undang-undang pertama tentang pemilihan umum di
Indonesia. Di dalam undang-undang ini tidak ada definisi atau batasan mengenai
pemilihan umum. Hanya disebutkan di bagian Menimbang undang-undang menegaskan
"bahwa untuk pemilihan anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat perlu diadakan peraturan undang-undang." Dapat dipahami dari
ketentuan ini, tidak ada batasan pengertian yang dapat dijadikan sebagai acuan
tentang definisi pemilihan umum. Pemilihan anggota Konstituante dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemilihan umum hanya mengatur tentang siapa
yang berhak memilih dan dipilih, soal pencalonan, tentang daerah pemilihan
serta hal-hal teknis lainnya.
B. Sistem Pemilu
Pada umumnya sistem pemilihan umum
dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu sistem pemilihan mekanis dan sistem
pemilihan organis.
Sistem pernilihan mekanis mencerminkan
pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa
individu-individu yang sama, Adapun sistem pemilihan organis menempatkan rakyat
sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam
persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga) fungsi tertentu
(ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan
lembaga-lembaga sosial (universitas).
Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan,
pemilihan organis dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan fungsional
(function representation) yang biasa dikenal dalam sistem parlemen dua kamar,
seperti di Inggris dan Irlandia. Pemilihan anggota Senat Irlandia dan juga para
Lords yang akan duduk di House of Lords Inggris, didasarkan atas pan- dangan
yang bersifat organis tersebut. Dalam Sistem pemilihan meka- nis, partai-partai
politiklah yang mengorganisasikan pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan
sistem dua partai atau pun multipartai menurut paham liberalisme dan
sosialisme, ataupun berdasarkan sistem satu partai menurut paham komunisme.
Tetapi dalam sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu di
kembangkan, karena pernilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap
persekutuan hidup itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam
lingkungannya sendiri.
Sistem Pemilihan mekanis biasanya
dilaksanakan dengan dua sistem pemilihan umum, yaitu:
1. Sistem
Proporsional
2. Sistem
Distrik
C. Asas-Asas
Pemilu
Asas-asas pemilu, baik yang
tertuang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu maupun UU Pemilu
sebelumnya, sebagai berikut:
1. Langsung
2. Umum
3. Bebas
4. Rahasia
5. Jujur
6. Adil
D. Peserta
Pemilu
Secara sederhana, peserta pemilu
merupakan partai politik. Masyarakat sudah mafhum memahami ini, oleh karena di
seluruh dunia, bahwa peserta pemilu tidak lain adalah partai politik. Tetapi
selain partai politik, sebenarnya terdapat juga calon presiden dan wakil
presiden dan calon perseorangan. Namun pengertian yuridis mengenai peserta
pemilu adalah apa yang tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan:
"Peserta Pemilu adalah partai politik untuk pernilu anggota DPR, anggota
DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk permilu anggota
DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik untuk pemilu presiden dan wakil presiden." Karena itu, ada tiga
komponen yang menjadi peserta pemilu yaitu: partai politik, calon perseorangan
untuk DPD, serta calon presiden dan wakil presiden.
E. Penyelenggara
Pemilu
Jika merujuk pada Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, jelas mengatur mengenai
lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Dalam undang-undang ini mengenal tiga
lembaga penyelenggara pemilu, yakni, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas
Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang kesemuanya merupakan
lembaga yang independen dalam menyelenggarakan pemilu. Masing-masing ketiga
lembaga tersebut memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda dalam rangka
menyelenggarakan pemilu di Indonesia. Undang-undang ini menyebutkan bahwa
penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri
atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, presiden dan wakil presiden
secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota
secara demokratis. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dijabarkanlah berbagai
norma hukum terkait dengan kelembagaan penyelenggara pemilu. Berdasarkan
ketentuan dalam undang-undang pemilu tersebut, maka lembaga penyelenggara
pemilu, yaitu:
1. Komisi
Pemilihan umum
2. Badan
Pengawas Pemilu
3. Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu
F. Pemantauan
Masyarakat Terhadap Pemilu
Sebagai bagian dari pelaksanaan
demokrasi, pemilu tidak saja diawasi Oleh lembaga formal Seperti Bawaslu,
tetapi juga dapat dipantau oleh pemantau pemilu. Pemantau pemilu meliputi: (1)
organisasi kemasyarakatan berbadan hukum yayasan atau berbadan hukum perkumpulan
yang terdaftar pada pemerintah atau pemerintah daerah; (2) lembaga pemantau
pemilihan dari luar negeri; (3) lembaga pemilihan luar negeri; dan (4)
perwakilan negara sahabat di Indonesia.
Pemantau pemilu harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut: (1) bersifat independen; (2) mempunyai sumber dana
yang jelas; dan (3) teregistrasi dan memperoleh izin dari Bawaslu, Bawaslu
provinsi, atau Ba- waslu kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah
pemantauannya.
Pemantau pemilu mempunyai hak
antara Iain:
1. Mendapat
perlindungan hukum dan keamanan dari pemerintah Indonesia;
2. Mengamati
dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan pemilu;
3. Memantau
proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPS;
4. Mendapatkan
akses informasi yang tersedia dari Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu
kabupaten/kota;
5. Menggunakan
perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang berkaitan
dengan pelaksanaan pemilu.
Selain
diberikan hak, pemantau juga mempunyai kewajiban yang harus ditaati.
Kewajiban-kewajiban tersebut, yaitu:
1. Mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan dan menghormati kedaulatan Negara
Kesatuan Republik indonesia.
2. Mematuhi
kode etik pemantau pemilu yang diterbitkan oleh Bawaslu
3. Melaporkan
diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal ke Bawaslu, Bawaslu
provinsi, atau Bawaslu kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan.
4. Menggunakan
tanda pengenal selama menjalankan pemantauan.
5. Menanggung
semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan.
6. Melaporkan
jumlah dan keberadaan personel pemantau pemilu Serta tenaga pendukung
administratif kepada Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu kabupaten/kota
sesuai dengan Wilayah pemantauan.
7. Menghormati
kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara pemilu.
8. Menghormati
adat istiadat dan budaya setempat.
9. Bersikap
netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan.
10. Menjamin
akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan
mengklarifikasikan kepada Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu
kabupaten/kota.
11. Melarporkan
hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu provinsi,
atau Bawaslu kabupaten/kota.
Pemantau
juga dibatasi dengan larangan antara lain:
1. Melakukan
kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan pemilu.
2. Memengaruhi
dalam menggunakan haknya untuk memilih,
3. Mencampuri
pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara pemilu.
4. Memihak
kepada peserta pemilu tertentu.
5. Menggunakan
seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung peserta pemilu.
6. Menerima
atau memberikan hadiah, imbalan, arau fasilitas apa pun dari atau kepada peserta pemilu.
7. Mencampuri
dengan cara apa pun unsan militik dan pemerintahan
8. Membawa
senjata, bahan peledak, darvatau bahan berbahaya lainnya selama melakukan pemantauan.
9. Masuk
ke dalam TPSa.
10. Melakukan
kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau pemilu.
G. Partisipasi
Masyarakat Dalam Pemilu
Selain keterlibatan pemantau,
pemilu juga diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat
bisa dilakukan dalam bentuk: pertama, sosialisasi pemilu; pendidikan politik
bagi pemilih; ketiga survei atau jajak pendapat tentang pemilu; dan keempat
penghitungan cepat hasil pemilu.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam
pemilu dilakukan dengan berbagai ketentuan di antaranya: pertama, tidak
melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu; kedua,
tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu; ketiga, bertujuan
meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan keenpat, mendorong
terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai,
tertib, dan lancar.
H. Penetapan
Hasil Pemilu
Dalam menetapkan hasil pemilu,
Komisi pernilihan Umum menetapkan dua jenis hasil pemilu. Pertama, hasil pemilu
presiden dan wakil presiden terdiri atas perolehan suara pasangan calon. Kedua,
hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terdiri
atas perolehan suara partai politik, Calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota Serta perolehan suara calon anggota DPD. Da- lam hal ini,
undang-undang menyatakan: "KPU wajib menetapkan secara nasional hasil
pemilu anggota, DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan hasil pemilu anggota
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Penetapan peroleh suara dilakukan oleh
KPLJ secara berjenjang ngan cara sebagai berikut:
1. Perolehan
suara pasangan Calon presiden dan calon wakil presiden ditetapkan oleh KPU
dalam sidang pleno terbuka.
2. Perolehan
suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk Calon
anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka.
3. Perolehan
Suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU
provinsi dalam sidang pleno terbuka.
4. Perolehan
suara Partai politik untuk calon anggota DPRD kabupa- ten/kota ditetapkan oleh
KPU kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka.
I. Pelanggaran
Pemilu
Laporan pelanggaran pemilu
disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat: (1) nama dan alamat
pelapor; (2) pihak terlapor; (3) waktu dan tempat kejadian perkara; dan (4)
uraian kejadian. Hasil pengawasan ditetapkan sebagai temuan pelanggaran pemilu paling
lama tujuh hari sejak ditemukannya dugaan pelanggaran pernilu. Laporan
pelanggaran pemilu paling lama tujuh hari kerja sejak diketahui terjadinya
dugaan pelanggaran pemilu. Temuan dan laporan pelanggaran pemilu yang telah
dikaji dan terbukti kebenarannya wajib ditindaklanjuti oleh Bawaslu, Bawaslu
provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Panwaslu kelurahan/ desa,
Panwaslu LN, dan pengawas TPS paling lama tujuh hari setelah temuan dan laporan
diterima dan diregistrasi. Dalam hal Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Panwaslu ke- lurahan/desa, Panwaslu LN, dan
pengawas TPS memerlukan keterang- an tambahan mengenai tindak lanjut,
keterangan tambahan dan kajian dilakukan paling lama 14 hari kerja setelah ternuan
dan laporan diterima dan diregistrasi.
J. Pelanggaran
Kode Etik Penyelenggara Pemilu
pengaduan tentang dugaan adanya
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diajukan secara tertulis oleh
penyelenggara pemilu, peserta pemilu. tim kampanye, masyarakat, dan/atau pemilih
dilengkapi dengan identitas pengadu kepada DKPP. DKPP melakukan verifikasi dan
penelitian administrasi terhadap pengaduan. DKPP menyampaikan panggilan
pertamaa kepada penyelenggara pemilu lima hari sebelum melaksanakan sidang
DKPP. Dalam hal penyelenggara pemilu yang diadukan tidak memenuhi panggilan,
DKPP menyampaikan panggilan kedua lima hari sebelum melaksanakan sidang DKPP.
Dalam hal DKPP telah dua kali melakukan panggilan dan penyelenggara pemilu
tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang dapat diterima. DKPvP dapat segera
membahas menetapkan putusan tanpa kehadiran penyelenggara yang basangkutan.
penyelenggara pemilu yang diadukan harus datang sendiri dan tidak dapat
menguasakan kepada orang lain.
Pengadu dan penyelenggara pemilu
yang diadukan dapat menghadirkan saksi-saksi dalam sidang DKPP. Pengadu dan
penyelenggara pemilu yang diadukan mengemukakan alasan pengaduan atau pembelaan
di hadapan sidang DKPP. Saksi dan/atau pihak lain yang terkait memberikan
keterangan di hadapan sidang DKPP, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat
bukti lainnya. DKPP menetapkan putusan setelah melakukan penelitian dan/atau
Verifikasi terhadap pengaduan tersebut, mendengarkan pembelaan dan keterangan
saksi, serta mempertimbangkan bukti lainnya. Putusan DKPP berupa sanksi atau
rehabilitasi diambil dalam rapat pleno DKPP. Sanksi dapat berupa teguran
tertulis, pemberhentian sementara, atau pember- hentian tetap untuk
penyelenggara pernilu. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Terhadap
putusan tersebut, penyelenggara pemilu wajib melaksanakan putusan DKPP.
K. Pelanggaran
Administratif Pemilu
Pelanggaran administratif pemilu
meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang
berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan
penyelenggaraan pemilu. Pelanggaran administratif tidak termasuk tindak pidana
pemilu pelanggaran kode etik. Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota
menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administratif pemilu.
Panwaslu kecamatan menerima, memeriksa, mengkaji, dan membuat rekomendasi atas
hasil kajiannya mengenai pelanggaran administratif pemilu kepada pengawas
pemilu secara berjenjang. Pemeriksaan oleh Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu
kabupaten/kota harus dilakukan secara ter- buka, dalam hal diperlukan sesuai
kebutuhan tindak lanjut penanganan pelanggaran pemilu, Bawaslu, Bawaslu
provinsi, Bawaslu kabupaten/kota dapat melakukan investigasi. Bawaslu, Bawaslu
provinsi, Bawaslu kabupaten/kota wajib memutus penyelesaian pelanggaran
administratif pemilu paling lama 14 hari kerja setelah temuan dan laporan
diterima dan diregistrasi. Putusan Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu
kabupaten/kota untuk penyelesaian pelanggaran administratif pemilu berupa: (1)
perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai
dengan ketentuan peraturan penrndang-undangan; (2) teguran tertulis; (3) tidak
diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pernilu; dan (4) sanksi
administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
L. Sengketa
Proses Pemilu
Dalam kaitannya dengan sengketa
proses Pemilu, Bawaslu, Bawaslu provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota menerima
permohonan penyele- saian sengketa proses pemilu sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan KPU, keputusan KPU provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/kota. Permohonan
penyelesaian sengketa proses pemilu disarnpaikan oleh calon peserta pemilu
dan/atau peserta pemilu. Permohonan penyelesaian Sengketa proses pemilu
disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat: (1) nama dan alamat
pemohon; (2) pihak termohon; dan (3) keputusan KPU, keputusan KPU provinsi,
dan/atau keputusan KPLJ kabupaten/ kota yang menjadi sebab sengketa. Permohonan
penyelesaian sengketa proses pemilu disampaikan paling lama tiga hari kerja
sejak tanggal penetapan keputusan KPU, keputusan KPU provinsi, dan/atau
keputusan KPU kabupaten/kota yang menjadi sebab sengketa. Penyelesaian sengketa
pemilu dapat ditangani oleh dua institusi dengan kualifikasi yang berbeda.
Pertama, penyelesaian sengketa
proses pemilu di Bawaslu. Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota
berwenang menyelesaikan sengketa proses pemilu.
Kedua, Penyelesaian sengketa proses
pemilu di pengadilan tata usaha negara. Sengketa proses pemilu melalui pengadilan
tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau
partai politik calon Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU,
keputusan KPU provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/kota.
M. Perselisihan
Hasil Pemilu
Di dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu, perselisihan hasil pemilu dapat dipilah menjadi:
pertama, perselisihan hasil pemilu meliputi perselisihan antara KPU dan peserta
pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Kedua,
perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD
secara nasional, meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat
memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.Ketiga, perselisihan penetapan
perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional,
meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi
penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional.
Dalam hal terjadi perselisihan penetapan
perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional,
peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan
pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada
Mahkamah Konstitusi. Ada dua jenis proses penyelesaian sengketa hasil pemilu.
peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan
penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara
nasional oleh KPU. Dalam hal pengajuan permohonan kurang lengkap, pemohon dapat
memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam sejak diterimanya perrnohonan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, dalam
hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara ha- sil pemilu presiden dan
wakil presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Konstitusi dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu
presiden dan wakil presiden Oleh KPU. Keberatan hanya terhadap hasil
penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau
penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden.
Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan tersebut
Paling lama 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mah- kamah
Konstitusi. KPU wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi menyampaikan putusan hasil penghitungan suara kepada:
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat
2. Presiden
3. KPU
4. Pasangan
calon dan
5. Partai
politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon
BAB 14
PEMILIHAN
KEPALA DAERAH
A. Pengertian
Pemilihan Kepala Daerah
pemilihan kepala daerah atau pilkada
adalah sarana pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal. Sebagaimana halnya
pemilu, pilkada menjadi Salah satu cara untuk menyeleksi pemimpin di daerah.
Namun mengenai cara melaksanakannya, terdapat dinamika yang terus berkembang
dalam ketatanegaraan Indonesia. Pengertian pernilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Daerah juncto
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP Nomor 6
Tahun 2005 adalah: "sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah
Provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945 untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah." Adapun menurut Joko J.
Prihantoro, bahwa "pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik,
yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala
daerah, baik gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati atau walikota/wakil
walikota." Dalam kehidupan politik di daerah, pilkada merupakan salah satu
kegiatan yang nilainya equivalen
dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalen
tersebut ditunjukkan dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah DPRD.
B. Dasar Hukum
Pemilihan Kepala Daerah
Dasar hukum berhubungan dengan
norma yang dijadikan sebagai dasar bagi keputusan dan/atau tindakan setiap
warga negara dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Dasar hukum inilah yang
menjadi rujukan tindakan dan/atau keputusan tersebut. Dalarn konteks ini, dasar
hukum pilkada merupakan dasar yang dijadikan sebagai norma hukum pelaksanaan
pilkada. Pilkada adalah aktivitas politik, sehingga harus ada aturan main yang
menjadi dasar pelaksanaannya. Adapun yang menjadi dasar hukum pilkada Indonesia
yakni:
1. UUD
NRI Tahun 1945
2. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948
3. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957
4. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965
5. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974
6. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999
7. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004
8. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008
9. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016
C. Asas-Asas
Pemilihan Kepala Daerah
Di dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 beserta perubahan sebelumnya juga diatur tentang asas-asas dalam
pilkada, yaitu asas Langsung Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. Ketentuan
mengenai asas ini sebenarnya disebutkan dalam Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah diubah beberapa kali.
Asas tersebut adalah:
1. Langsung
2. Umum
3. Bebas
4. Rahasia
5. Jujur
6. Adil
D. Lembaga
Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor I Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang merupakan hasil perubahan beberapa kali terhadap Perpu Nomor 1
Tahun 2014, disebutkan beberapa pihak yang termasuk penyelenggara pemilihan
kepala daerah, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga pelaksana,
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga pengawasan, dan Dewan
Kehormatan Penye- lenggara pemilihan Umum (DKPP) sebagai lembaga pengawasan
kode etik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa penyelenggara pilkada
diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Penyelenggara
Pilkada yang dimaksud sebagai berikut:
1. Komisi
Pemilihan Umum (KPU)
2. Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu)
3. Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP)
E. Peserta
Pemilihan Kepala Daerah
Sebagaimana yang tertuang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, peserta pilkada, atau yang disebutkan dalam
undang-undang yaitu peserta pemilihan, adalah:
1. Pasangan
calon gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil
bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai
2. Pasangan
calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang
F. Larangan
Dalam Kampanye Pemilihan Kepala Daerah
Sebagai Salah satu kegiatan
politik, pilkada memiliki aktivitas kampanye untuk menyampaikan visi-misi dan
program kerja kandidat kepala daerah kepada masyarakat. Agar tidak terjadi
tumpang tindih dan konflik kepentingan serta merusak persatuan dan kesatuan
bangsa, maka undang-undang pemilihan memberikan rambu-rambu kampanye yang harus
ditaati oleh setiap kandidat dalam melaksanakan aktivitasnya selama kampanye
berlangsung. Rambu-rambu yang diingatkan dan dilarang dilakukan selama kampanye
pilkada adalah sebagai berikut:
1. Mempersoalkan
dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Menghina
seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, Calon bupati, calon
walikota, dan/atau partai politik;
3. Melakukan
kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik,
perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
4. Menggunakan
kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada
perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik;
5. Mengganggu
keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
6. Mengancam
dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari
pemerintahan yang sah;
7. Merusak
dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye;
8. Menggunakan
fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah
9. Menggunakan
tempat ibadah dan tempat pendidikan;
10. Melakukan
pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan
raya; dan/atau
11. Melakukan
kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan leh KPU provinsi dan KPU
kabupaten/kota.
BAB 15
HUKUM
TATA NEGARA DARURAT
A. Pengertian
Hukum Tata Negara Darurat
Secara umum keadaan darurat (state
of emergency) dapat dimaknai sebagai pernyataan penguasa untuk menunda suatu
fungsi yang normal dari sejumlah kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif,
legislatif dan yudikatif, termasuk juga mengubah kehidupan normal warga negara
dan institusi pemerintah, dalam rangka tanggap darurat. Pengertian ini sebagaimana
dirujuk dari pemikir Jerman, Carl Schmitt, dalam apa yang disebutnya sebagai State of exception, yakni kemampuan atau
tindakan yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan (souvereign) untuk melampaui/mengecualikan
aturan hukum (rule of law) atas nama
kepentingan publik. Schmitt menegaskan, bahwa souvereign adalah "he who decides on the exception."
Hukum tata negara darurat menurut
doktrin ada dua yakni hukum tata negara darurat objektif dan subjektif. Hukum
tata negara darurat subjektif adalah hak negara untuk bertindak dalam keadaan
bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang atau
bahkan ketentuan Undang-Undang Dasar. Adapun hukum tata negara darurat objektif
adalah hukum tata negara yang berlaku ketika negara berada dalam keadaan
darurat, bahaya, atau genting. Keadaan bahaya atau darurat harus dapat
didefinisikan. Pemberian cakupan ini bertujuan agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. Karena dalam keadaan tersebut negara
dapat melakukan tindakan apa pun termasuk membatasi hak warga negara. Kim Lane mengemukakan
keadaan darurat menyangkut hal yang ekstrem, di luar kebiasaan. Sehingga negara
perlu melanggar prinsip yang dianutnya sendiri guna menyelamatkan diri dari
keadaan tersebut. Aturan hukum yang dijadikan payung penerapan keadaan darurat
untuk wilayah Indonesia ada empat, yaitu Peraturan SOB 1939, UU No. 6 Tahun
1946, UU No. 74 Tahun 1957, dan Perpu No. 23 Tahun 1959. Peraturan SOB 1939
membedakan tingkat keadaan bahaya menjadi dua, yaitu dalam keadaan SVO dan SVB.
B. Darurat Sipil
Keadaan darurat sipil merupakan
keadaan darurat yang tingkatan bahayanya dianggap paling rendah dalam arti
paling sedikit ancaman bahayanya. Karena tingkatan bahayanya yang demikian itu,
tidak diperIukan operasi penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer.
Sekiranyapun anggota tentara atau pasukan militer diperlukan untuk mengatasi
keadaan, kehadiran mereka hanya bersifat pernbantu. Operasi penanggulangan
keadaan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil. Terjadinya
keadaan darurat sipil dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain dapat
terjadi secara alami, insani, dan/atau sebab-sebab yang bersifat hewani.
Sebab-sebab yang bersifat insani adalah sebab yang terjadi karena ulah manusia.
Adapun yang dimaksud sebab-sebab hewani adalah bencana yang timbul karena hewan
yang menyebabkan berjang- kitnya wabah penyakit yang meluas.
C. Darurat
Militer
Keadaan darurat militer adalah
keadaan yang tingkatan bahayanya dianggap lebih besar daripada keadaan darurat
sipil penanganan atau penanggulangannya dianggap tidak cukup dilakukan dengan
operasi yang dikendalikan oleh pejabat sipil dan hanya berdasarkan ketentuan
peraturan yang berlaku dalam keadaan darurat sipil. Apabila tingkat ancaman
bahaya yang terjadi dianggap lebih besar atau lebih serius dan dinilai tidak
cukup ditangani menurut norma-norma keadaan darurat sipil, maka keadaan negara,
baik untuk seluruh wilayah ataupun hanya untuk sebagian wilayah tertentu saja
dapat dinyatakan atau dideklarasikan berada dalam keadaan darurat militer. Jika
merujuk pada tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TND yakni, menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
D. Keadaan
Perang
Dari segi hukum, pemberlakuan
keadaan perang didasarkan atas regeling
op den Staat Van oorlog en beleg (peraturan tentang keadaan darurat perang
atau SOB) 1939. Alasannya, Karena undang-undang mengenai keadaan darurat
nasional yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 belum juga
dibuat. Keadaan perang timbul karena adanya ancaman yang membahayakan kedaulatan
negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan seluruh atau sebagian wilayah negara
yang datang dari kekuatan militer asing di dalam wilayah negara ataupun di luar
wilayah negara, yang mampu menangkal, menindak, dan memulihkannya memerlukan
kekuatan operasi militer sebagai pertahanan negara. Medan pertempuran dapat
terjadi di dalam wilayah negara dan dapat pula terjadi di luar wilayah negara.
Medan pertempuran di dalam wilayah negara, juga tidak selalu harus di Wilayah
negara, melainkan dapat terjadi hanya di daerah-daerah tertentu saja. Oleh
karena itu, pemberlakuan keadaan darurat perang dapat dila- kukan hanya untuk di
daerah-daerah tertentu saja. Ketentuan mengenai keadaan darurat di masa perang
ini diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1959.
E. Argumen Mengenai
“Keadaan Perang”, “Keadaan Bahaya”, Dan “Kegentingan Yang Memaksa”.
Ada tiga kalimat yang secara
singkat memiliki makna yang kadang serupa, tetapi tidak sama, yakni;
"keadaan perang", yang terdapat dalam rancangan awal Undang-Undang
Dasar Indonesia yang terletak di dalam pasal 11, "keadaan"
bahaya" yang terdapat dalam Pasal 12 serta "kegentingan yang
memaksa" dalam Pasal 22. Ketiga potongan kalimat ini kedengarannya
sepintas agak mirip, yakni; situasi perang, situasi bahaya, situasi genting.
Peperangan dapat menimbulkan bahaya yang menyebabkan situasi genting. Meskipun
dibolak-balik juga kalimatnya, maka pada intinya,
"perang-bahaya-genting" merupakan tali-temali kata yang tidak
terpisahkan.
Tetapi kemudian, yang terdapat dalam
UUD 1945 setelah ditetapkan Pada tanggal 18 Agustus 1945 hanyalah dua, yakni
"keadaan bahaya" sebagaimana dalam pasal 12 dan "kegentingan
yang memaksa" sebagai mana yang terdapat dalam Pasal 22. "Keadaan
perang" tercakup dalam frasa kalimat keadaan bahaya yang memerlukan sikap
presiden untuk menetapkan "situasinya". Karena peperangan dapat
menimbulkan bahaya bagi bangsa dan negara. Kedua frasa dalam pasal yang berbeda
ini dikonstruksi dengan prasituasi dan posisi presiden sebagai subjek yang
berbeda. Pada "keadaan bahaya presiden boleh menetapkannya berdasarkan
syarat-syarat yang ditetapkan dengan undang-undang. Pra situasi keadaan bahaya
memiliki daya ikat yang kuat, yakni undang-undang.
"Keadaan bahaya"
berkaitan atau memiliki relevansi dengan "ancaman terhadap negara".
Negara setidaknya berhubungan dengan tiga unsur di dalamnya, yakni;
"wilayah. rakyat, dan pemerintah yang berdaulat". Dalam hal ini,
keadaan bahaya berhubungan dengan ancaman terhadap wilayah negara, ancaman
terhadap rakyat dan ancaman terhadap pemerintahan secara umum. Artinya state disturbing. Itulah sebabnya,
penetapan keadaan bahaya berhubungan dengan posisi presiden sebagai
"kepala negara".
Adapun yang dikategorikan sebagai
keadaan bahaya, sebagai berikut:
1. Keadaan
bahaya karena perang yang datang dari luar negeri
2. Keadaan
bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri, seperti tentara
Amerika Serikat berperang di Irak
3. Keadaan
bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau ancaman
pemberontakan bersenjata oleh kelompok separatis di dalam negeri, seperti
pernah terjadi di DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh.
4. Keadaan
bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial yang
menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Misalnya, kerusuhan sosial di Jakarta yang menyebabkan
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998.
5. Keadaan
bahaya karena terjadi bencana alam (natural disaster) atau kecelakaan yang
dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan, dan mengakibatkan mesin
pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Misalnya, gelombang tsunami di Aceh dan bencana lainnya yang menimbulkan
kepanikan sehingga fungsi-fungsi pemerintahan sehari-hari tidak dapat
dijalankan.
6. Keadaan
bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu atau menyebabkan
mekanisme administrasi negara tidak dapat dijalankan seagaimana mestinya sesuai
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
7. Keadaan
bahaya karena kondisi keuangan negara seperti yang dalam UUD India disebut
"finansial emergency" dan kondisi administrasi negara yang tidak
mendukung atau di mana ketersediaan keuangan negara yang tidak memungkinkan dilaksanakannya
tugas-tugas pemerintahan oleh lembaga-lembaga penyelenggara negara sebagaimana
mestinya, sementara keutuhan untuk bertindak sudah sangat genting dan mendesak
untuk dilakukan.
8. Keadaan-keadaan
lain di mana fungsi-fungsi kekuasaan konstitusional yang sah tidak dapat
bekerja sebagaimana mestinya, kecuali dengan cara melanggar undang-undang
tertentu, sementara keharusan untuk mengubah undang-undang dimaksud belum dapat
terpenuhi dalam waktu yang tersedia.
Sebaliknya "kegentingan yang
memaksa" mewakili perasaan si subjek, dalam hal ini "perasaan
presiden" terhadap "situasi pemerintahan". Penetapaan
kegentingan yang memaksa meletakkan subjektivitas presiden sebagai titik pusat
pengambilan keputusan, sehingga sifatnya "fleksibel". Tergantung pada
"perasaan" yang dialami oleh presiden.
Dasar hukum dari "kegentingan
yang memaksa" sudah ditetapkan juga dalam UUD, sehingga apabila terjadi
kegentingan yang memaksa, maka presiden dapat mengeluarkan "peraturan
pemerintah pengganti undang-undang" atau disingkat Perppu. Dengan
demikian, bentuk hu- kum dari "kegentingan yang memaksa" adalah
Perppu yang sudah diatur pula formatnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Kelebihan
Buku
Buku
ini mencakup materi secara luas dan lengkap mengenai hukum tata negara
Indonesia serta sistem pemerintahan negara sehingga layak sekali dijadikan
sumber untuk menambah pengetahuan tentang hukum tata negara bagi pembaca. Buku
ini sangat bagus untuk dibaca oleh semua kalangan baik pelajar maupun
masyarakat umum. Terlebih lagi bagi mahasiswa, buku ini sangat bermanfaat untuk
mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan khususnya ilmu yang berkaitan dengan
hukum tata negara.
3. Kekurangan
Buku
Kekurangan
dalam buku ini adalah mengenai pemahaman beberapa istilah-istilah yang kurang
diketahui bagi pemula yang baru membaca serta baru mempelajari mengenai hal
yang berkaitan dengan hukum tata negara sehingga ada beberapa materi dari
penulis yang belum dapat diserap oleh pembaca, selain itu harga buku juga
tergolong cukup mahal.