Wednesday, April 24, 2019

Resensi Buku Hukum Tata Negara Indonesia




Identitas Buku



Judul Buku      : Hukum Tata Negara Indonesia
Penulis            : Fajlurahman Jurdi
Penerbit          : Prenadamedia Group
Tahun Terbit   : 2019
Tebal               : 623 halaman
Harga Buku     : Rp200.000,00







Resensi Buku Hukum Tata Negara Indonesia
Oleh: Yusril Ihza Yunus
Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas


1.     Ikhtisar/Rangkuman Buku

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Pengertian Ilmu
Di subbab pertama dalam buku ini menjelaskan tentang apa itu pengertian ilmu, di dalam buku dijelaskan bahwa ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima-ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi haqiqotih (mengetahui sesuatu secara hakiki).
Selain itu ada beberapa pendapat para ahli dan tokoh-tokoh mengenai pengertian ilmu itu sendiri
Menurut Prent secara etimologis ilmu berasal dari kata “Scientia” yang berarti pengetahuan tentang, tahu juga tentang, pengetahuan mendalam, paham benar-benar, dan menurut Prent juga dijelaskan bahwa ilmu memiliki makna denotatif dan makna konotatif.
Menurut The Liang Gie, ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebutkan segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suaru kebulatan. Jadi ilmu mengacu pada ilmu seumnya. Dan ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pokok soal tertentu, ilmu berarti cabang ilmu khusus.
Dari segi maknanya, The Liang Gie mengemukakan tiga sudut pandang berkaitan dengan pemaknaan ilmu pengetahuan, yaitu:
·       Ilmu sebagai pengetahuan
·       Ilmu sebagai aktivitas
·       Ilmu sebagai metode

B. Pengertian Pengetahuan
Di dalam subbab ini dijelaskan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang terjadi sehari-hari di tengah-tengah masyarakat yang diketahui dan dipahami oleh umum. Pengetahuan tidak perlu diuji validitas ilmiahnya, karena orang hanya sekadar tahu dan mengetahui saja.

Di subbab ini juga terdapat pendapat para ahli tentang pengetahuan, menurut Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.
Sementara menurut Soejono Soemargono dipandan dari segi karakteristiknya dapat dibedakan sebagai berikut:
·       Pengetahuan indriawi (indra)
·       Pengetahuan akal budi
·       Pengetahuan intuitif
·       Pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.
Dan juga masih ada pendapat para ahli lainnya di dalam subbab buku ini, seperti Pudjawidjana dan Notoadmodjo yang memiliki pendapat yang hampir sama tentang pengetahuan adalah merupakan hasil dari pengindraan terhadap objek tertentu, Wotloly yang membagi pengertian pengetahuan menjadi dua yakni statis dan dinamis

C. Perbedaan Antara Ilmu dan Pengetahuan
Dari pembahasan subbab sebelumnya, maka jelas perbedaan prinsipiel antara ilmu dan pengetahuan. Ilmu diperoleh melalui mekanisme ilmiah dan metodis sedangkan pengetahuan diperoleh melalui pengalaman.
Dan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern, Djokosoetono mengatakan bahwa ilmu pengetahuan modern memiliki sifat-sifat atau syarat-syarat, yakni:
·       Empiris
·       Immanent (jangan spekulatif)
·       Fungsional
·       Dialektis
·       Dynamisch (dinamis)
·       Knowledge for what (ilmu pengetahuan harus prakmatis, harus praktis)

D. Hukum Tata Negara Sebagai Ilmu
Hukum tata negara dalam arti luas dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:
·       Hukum tata negara dalam arti sempit atau hanya disebut hukum tata negara
·       Hukum tata usaha negara (administrative recht) yang dalam khasanah ilmu hukum di Indonesia lebih popular dengan sebutan hukum administrasi negara.
Adapun pendapat dari para ahli yang dibahas di subbab ini, seperti Van Vollenhoven, yang mengatakan hukum tata negara itu mengatur semua masyarakat hukum tingkat atas dan tingkat bawah, yang selanjutnya menentukan wilayah lingkungan, menentukan badan-badan yang berkuasa, berwenang dan berfungsi dalam masyarakat hukum tersebut.
Adapun pendapat Van der Pot, Maurice Duverger, Kusumadi Pudjosewojo, A.M Donner, dan Jimly Asshiddiqie yang mengemukakan pendapat tentang apa itu hukum tata negara serta bagian-bagiannya
Dan dalam studi Hukum Tata Negara itu sebenarnya adapula cabang ilmu khusus yang melakukan telaah perbandingan antar-berbagai konstitusi, yaitu Hukum Tata Negara Perbandingan atau Ilmu Perbandungan Hukum Tata Negara, yang bertujuan:
·       Untuk membandingkan dua atau lebih konstitusi-konstitusi
·       Untuk membandingkan satu konstitusi yang ditelaah dengan konstitusi lain.

E. Objek Kajian Ilmu Hukum Tata Negara
Sebagai ilmu, hukum tata negara memiliki objek kajian yang berbeda dengan ilmu politik, hukum pidana, hukum internasional, hukum perdata maupun hukum administrasi negara. Objek kajian hukum tata negara sebenarnya tertuang dalam konstitusi suatu negara.
Secara umum, objek kajian hukum tata negara adalah:
·       Hukum tata negara mengkaji mengenai organisasi negara
·       Hukum rara negara juga meletakkan objek kajiannya pada alat kelengkapan negara
·       Konsep trias politica menjadi acuan dikarenakan setiap alat kelengkapan negara memiliki hubungan kelembagaan yang satu dengan yang lain.
·       Bentuk negara dan bentuk pemerintahan
·       Sistem pemerintahan suatu negara
·       Wilayah dan batas-batas negara yang telah ditentukan
·       Perlindungan hak-hak warga negara, khususnya HAM
·       Pemenuhan hak dan kewajiban warga negara dan pemerintah
·       Menjadikan konstitusi sebagai objek kajiannya
Selain apa yang penulis kemukakan di atas, Handoyo juga mengemukakan hal yang serupa mengenai objek kajian hukum tata negara. Yakni:
·       Bentuk dan cara pembentukan atau penyusunan alat-alat perlengkapan negara
·       Wewenang, fungsi, tugas, kewajiban dan tanggung jawab dari masing-masing alat perlengkapan negara.
·       Hubungan antara alat perlengkapan negara, baik yang bersifat vertical maupun horizontal
·       Hubungan antara warga negara termasuk hak-hak asasi dari warga negara sebagai anggota organisasi


BAB 2
HUBUNGAN HUKUM TATA NEGARA DENGAN ILMU LAIN

A, Hukum Tata Negara dengan Ilmu Biologi
Dalam ilmu Biologi, terdapat pelajaran menegenai organ tubuh manusia, yang terdiri atas berbagai jaringan-jaringan yang rumit. Jaringan-jaringan yang rumit itulah yang membentuk manusia sehingga berfungsi dengan baik. Dan masing-masing organ memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda.
Organ-organ Negara, bila menggunakan analogi, persis sama dengan organ manusia. Salah satu organ negara yang dapat kita pinjam untuk menjelaskan kesamaan ini adalah organ legislative. Pada organ legislative, ada tugas untuk membentuk peraturan perundang-undang. Yang dimana tugas ini tidak dapat dilaksanakan oleh organ eksekutif atau organ yudikatif, karena kedua lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang lain lagi
Pada ilmu biologi, organ tubuh manusia tentu dipelajari dengan baik dan lebih detail lagi fungsi dan tugas masing-masing organ. Sementara pada ilmu Hukum Tata Negara, organ-organ negara mendapat pula porsi yang serius untuk dipelajari, karena itulah yang menjadi objek hukum tata negara.

B. Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik
Terdapat hubungan yang relevan antara hukum tata negara (HTN) dan ilmu politik. Politik adalah kegiatan yang berkaitan dengan lembaga-lembaga negara, seperti kegiatan membentuk undang-undang dan kegiatan melaksanakan perintah undang-undang. Sementara HTN berkaitan dengan badan-badan politik atau badan-badan kenegaraan di mana kegiatan politik diatraksikan.
Hukum Tata Negara mempelajari peraturan-peraturan hukum yang mengatur organisasi kekuasaan Negara. Adapu Ilmu Politik mempelajarin kekuasaan dilihat dari aspek perilaku kekuasaan tersebut. Baik Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik memiliki objek yang sama yaitu “Negara”. Dengan kata lain Ilmu Politik melahirkan manusia-manusia Hukum Tata Negara sebaliknya Hukum Tata Negara merumuskan dasar dari perilaku politik atau kekuasaan.

C. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Kenegaraan
Ilmu Hukum Tata Negara termasuk keluarga ilmu hukum kenegaraan (staatslehre). Seperti dikemukakan, staatslehre atau theorie der staat dapat dibagi dua, staatslehre in ruimerezin atau teeori negara dalam arti luas dan staatslehre in engerezin  atau teori negara dalam arti sempit.  Staatslehre dalam arti sempit itulah yang dapat di identifikasikan dengan staatsrecht yang dapat lagi dibagi dua, masing-masing dalam arti luas dan sempit.
George Jellinek, membagi Staatswissenchaft menjadi staatswissenschaft dalam arti sempit dan rechtwissenscaft. Staatswissenschaft dalam arti meliputi:
1.     Bescreibende staatswissenschaft, yaitu staatenkunde
2.     Theoritische staatswissenschaft atau staatsleer. Yang dibagi ke dalam allgemeine staatslehre atau ilmu negara umum dan aesondere staatslehre atau ilmu negara khusus.
3.     Praktische staatswissenschaft atau angewandte staatswissenschaft.

D. Hubungan Ilmu Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara Dalam Arti Luas
Untuk istilah ilmu Hukum Tata Negara ini disingkat HTN sering dipakai istilah yang berlainan. Umpamanya di negara Belanda disebut densan Staatsrecht, di Negara Jerman Verfassungsrecht, di tanah Inggris Constitusional-law. Adapun di negara Perancis menurut sarjana yang bernama Maurice Duverger di dalam bukunya yang berjudul Droit Constitutinnel et institutions Politiques, disebut Droit Constitutinnel.
Menurut Usep Ranawidjaja dalam tulisannya "Himpunan kuliah hukum tata negara Indonesia", istilah Hukum Tata Negara merupakan hasil terjemahan dari bahasa Belanda Staatsrecht. Sudah menjadi kesatuan pendapat di antara para sarjana hukum Belanda untuk membedakan antara "Hukum Tata Negara dalam arti luas" (staatsrecht in riume zin), dan "Hukum Tata Negara dalam arti sempit" (staatsrecht in etwezin), dan untuk membagi Hukum Tata Negara dalam arti luas itu atas dua golongan hukum, yaitu:
1.     Hukum Tata Negara dalam arti sempit (Staatsrecht in engezin) atau untuk singkatnya dinamakan Hukum Tata Negara (staiatsrecht).
2.     Hukum Tata Usaha Negara (administratief recht).
Selanjutnya dikatakan pula oleh Evenwel, "wat voor de wetenschap van hetpositieve staatsrecht inteiding is, een onmisbare voorw'arde voor het verdere werk, is voor de algemene staatsleer het elgenlijke doe van het bonde- rzoek zelve. Zij neemt de algemene problemen, die zich bij den staat en zijn organisatie voordoen, in het van haar onderzoek, en mzcht deze tot oplossing te brengen" (Akan tetapi hal yang bagi Ilmu Hukum Tata Negara positif merupakan suatu pengantar, satu syarat mutlak untuk pekerjaan selanjutnya, bagi Ilmu Negara merupakan tujuan sesungguhnya daripada penyelidikan yang dilakukannya. Oleh Ilmu Negara masalah-masalah umum yang terdapat pada negara organisasinya dijadikan pusat penyeli- dikannya serta dicoba untuk dipecahkannya).
Maka dengan demikian, jelaslah bahwa Ilmu Negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok negara dapat memberikan dasar-dasar teoretis yang bersifat umum untuk Hukum Tata Negara. Oleh karena itu, agar dapat mengerti dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya sistem hukum ketatanegaraan sesuatu negara tertentu, sudah sewajarnyalah kita harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan segala hal ikhwalnya secara umum tentang negara yang didapat dalam ilmu negara.

E. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Internasional
Hukum tata negara dan hukum internasional public, sama-sama merupakan cabang ilmu hukum publik. Namun objek kajian internasional publik sangat berbeda dengan kajian hukum tata negara. Hukum tata negara hanya pelajari negara dari struktur internalnya sedangkam hukum internasional publik mempelajari hubungan-hubungan hukum antarnegara itu secara eksternal. Di samping itu, hukum internasional itu sendiri, ada pula yang bersifat privat (perdata) di samping ada yang bersifat publik. Tentunya yang mempunyai hubungan erat dengan ilmü hukum tata negara adalah cabang hukum internasional publik. Keduanya sama-sama menelaah dan mengatur mengenai organisasi negara. Akan tetapi, hukum internasional mempelajari dan mengatur mengenai hu- bungan-hubungan eksternal dari negara, sedangkan hukum tata negara yang di bahas adalah perspektif yang bersifat internal, misalnya teori tentang kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, kedaulatan raja, ataupun teori kedaulatan Tuhan.

F. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Yang membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara secara prinsipiel, karena kedua ilmu pengetahuan itu menurut mereka dapat dibagi secara tajam, baik mengenai sistimatik maupun isinya, Hukum Administrasi Negara itu merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas dikurangi Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Ini yang djsebut dengan teori "residu".
 Logemann yang dalam bukunya "Over de theorie een stellig stoatsrecht" berhubung Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara itu merupakan suatu macam hukum khusus (als byzonder sort von recht) yang mempunyai objek penyelidikan hukum. Menurut Logemann, Hukum Tata Negara itu mempelajari:
1.     Susunan dari jabatan-jabatan;
2.     Penunjukan mengenai pejabat-pejabat;
3.     Tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan;
4.     Batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap daerah dan orang- orang yang dikuasainya;
5.     Hubungan antarjabatan;
6.     Penggantian jabatan; dan
7.     Hubungan antara jabatan dan pejabat.
Adapun hukum administrasi negara mempelajari jenisnya, bentuk serta akibat hukum yang dilakukan oleh para pejabat dalam melakukan tugasnya.


BAB 3
ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA

A. Pengertian Asas Hukum
Asas hukum (Rechts Beginsellen) merupakan salah satu bagian dari kaidah hukum. Asas hukum bersifat umum dan abstrak, sehingga ia menjadi roh dan spirit dari suatu perundang-undangan. Pada umumnya asas hukum itu berubah mengikuti kaidah hukumnya, sedangkan kaidah hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat.
Asas hukum berfungsi baik di dalam maupun di belakang sistem hukum positif. Asas hukum itu dapat berfungsi demikan karena berisi ukuran nilai. Sebagai kaidah penilaian asas hukum tertinggi dari suatu sistem hukum itu adalah fondasi dari sistem tersebut, Asas hukum itu terlalu umum untuk dapat berperan sebagai pedoman bagi perbuatan. Karena itu, asas hukum harus dikonkretisasikan. Pembentuk undang-undang membentuk aturan hukum, yang di dalamnya ia merumuskan kaidah perilaku. Selanjutnya konkretisasi dalam kaidah perilaku ini terjadi  melalui generalisasi putusan-putusan hakim. Jika pengkonkretisasian telah terjadi dan sudah ditetapkan (terbentuk) aturan-aturan hukum positif dan putusan-putusan hakim. maka asas hukum tetap memiliki sifat sebagai kaidah penilaian. Dengan itu, maka fungsi kedua asas hukum tampil kepermukaan. Ukuran nilai yang diberikan asas hukum itu sulit untuk diwujudkan secara sepenuhnya. Dengan itu asas hukum dapat tetap berhadapan dengan sistem hukum positif dan berfungsi sebagai batu-uji kritis (kritische toetssteen)

B. Asas Negara Hukum
 Salah satu yang menjadi fondasi dari pelajaran hukum tata negara adalah mengenai asas negara hukum. Asas negara hukum ini bersinggungan dengan prinsip bahwa semua warga negara, tidak terkecuali dari kelas kelas mana pun berasal, harus tunduk di bawah kendali hukum. inilah yang disebut dengan equality before the law. Kesetaraan dan kesamaan posisi dalam hukum menjadi salah satu pemikiran penting dalam hukum tata negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis menyatakan bahwa "Indonesia adalah negara hukum." Akibatnya segala tindakan dan keputusan individu dan kelompok, baik dalam konteks lembaga negara maupun warga negara harus tunduk pada perintah hukum, baik bersifat imperatif maupun alternatif.
Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.
Konsep negara hukum dibagi lagi menjadi beberapa pembagian, sebagai berikut:
1.     Rechstaat
2.     Rule of Law
3.     Socialist Legality

C. Asas Pancasila
Pancasila adalah philosophy Grondslagh, atau filsafat dasar banga dan negara. Sebagai filsafat dasar bangsa dan negara, Pancasila menempati posisis sentral dalam upaya membangun negara hukum Indonesia yang berdasarkan falsafah bangsa. Artinya, Pancasila sebagai volkgeist menjadi salah satu piranti utama bagi konsep kehidupan bertata negara di Indonesia. secara ketatanegaraan, posisi Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Apabila merujuk pada konsep stuffen theory-nya Hans Kelsen, maka Pancasila bukanlah staat fundamental norm, tetapi di atasnya lagi, karena ia merupakan filsafat bangsa. Sebab itu disebut sebagai volkgeist.
Sila-sila dalam Pancasila mengandung daya magis yang kuat elan vital persatuan dan kesatuan bangsa, adanya jaminan terhaåap pluralitas, penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia dan piranti-piranti kehidupan kolektif lainnya. Oleh karena itu, dapat diuraikan bagaimanaa hubungan tali-temali sila-sila dalam Pancasila jika dihubungkan butir-butir yang ada dalam rangka menyongsong kehidupan ketatanegaraan Indonesia.

D. Asas Demokrasi
Selain Pancasila, asas yang dianut dalam Hukum Tata Negara adalah asas demokrasi. Demokrasi berkaitan dengan prinsip pemerintahan modern yang harus "diimani" oleh lembaga-lembaga negara dan institusi politik modern. Sebab itu, prinsip atau asas demokrasi dalam hukum tata negara berhubungan langsung dengan eksistensi institusi politik dan ke- lembagaan negara yang diatur di dalam konstitusi masing-masing negara tersebut. Secara sederhana, democracy is government from the people, by the pe- ople, and for the people. Pemerintahan yang dikendalikan sepenuhnya oleh rakyat, yakni bersumber dari rakyat, dikelola oleh rakyat untuk kepen- tingan rakyat pula. Pemerintahan yang pusat sirkulasinya adalah rakyat. Pembentukan konstitusi Indonesia didasari atas sejarah perdebatan dan diskursus demokrasi yang panjang, sehingga keputusan yang diambil dalam menyusun struktur ketatanegaraan Indonesia memiliki relevansi dengan tesis-tesis demokrasi.
Makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakkan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari pengalaman itu, jelas bahwa Indonesia sebagai salah satu entintas negara demokrasi, memiliki habitus yang berbeda latar belakangnya dengan konsep demokrasi di Barat. Indonesia mendasarkan sejarah demokrasinya pada pengalaman historis dan perjuangan bangsa Indone- sia. berdasarkan pengalaman historis tersebut, Indonesia menemukan jati dirinya dalam menerapkan hakikat demokrasi yang bersandarkan pada kehendak kultural.

E. Asas Negara Kesatuan
Asas ini berkaitan dengan konsep Negara Republik Indonesia yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Dalam hal ini, susunan Negara tidak terbagi, atau dalam konteks yang lebih kuat lagi dapat dinyatakan bahwa susunan Negara dalam Negara kesatuan hanya terdiri atas satu Negara saja, tidak ada Negara-negara bagian, yang ada hanya daerah-daerah atau provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam hal ini, kewenangan pemerintah daerah dalam Negara kesatuan hanyalah berupa kekuasaan sisa (residu) dari pemerintah pusat. Kewenangan pemerintahan yang autentik dan kuat adalah kewenang- an pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya menjalankan mekanisme dan ketentuan yang telah ditetapkan di pusat. Itulah sebab- nya, tidak ada kedaulatan pemerintah daerah, karena kedaulatan bersifat tunggal, hanya miliki Negara, dalam konteks ini terpusat.
Penegasan mengenai konsep Negara kesatuan ini merupakan kon- sekuensi dari penekanan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 yang menegaskan bahwa; "Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang ber- bentuk republik". Frasa "Negara kesatuan" dan frasa "berbentuk repub- lik" merupakan dua entitas yang sama-sama sentral untuk dijaga dan dirawat, mengingat multikulturalisme yang melekat bersama bangsa Indonesia, maka tidak dapat dipungkiri, bahwa Negara kesatuan atau disingkat NKRI merupakan elemen vital yang menjadi pemersatu bagi segala perbedaan.
Prinsip Negara Kesatuan ini penting bagi hukum tata Negara untuk diketengahkan, mengingat hal ini merupakan fondasi bagi pembentukan pemerintahan secara umum, termasuk lembaga-lembaga Negara yang dibentuk. Dengan memahami hakikat Negara kesatuan, maka secara umum juga kita harus memahami konsekuensi yang mengikutinya. Misalnya, apa saja elemen penopang Negara kesatuan.

F. Asas Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan salah satu asas mendasar dalam hukum tata negara, karena secara prinsip, keberadaan lembaga-lembaga negara beserta fungsi yang melekat di dalamnya adalah untuk melindungi hak asasi manusia. Hukum tata negara menempatkan asas hak asasi manusia sebagai prinsip-prinsip dasar bernegara.
Jan Materson menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak- hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Artinya, hak asasi manusia berkaitan secara langsung dengan kehidupan manusia, karena melekat "nyawa", "kehendak", dan "kebebasan" sebagai bagian fundamental dari eksistensi manusia secara individual sebelum ia melebur menjadi makhluk sosial.
Hak asasi fundamental untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif "hak" merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak sen- diri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1.     Pemilik hak;
2.     Ruang lingkup penerapan hak; dan
3.     Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Karena itu, hak tidak berdiri sendiri, karena ia memiliki elemen pe- nopang, yakni individu yang memiliki hak, di mana hak itu diterapkan, dan ada entitas lain di luar individu yang bersedia dalam penerapan hak tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa: "Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hu- kum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."

G. Asas Checks and Balances
Kata "checks" dalam checks and balances berarti suatu pengontrolan yang satu dengan yang Iain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Adapun "balance" merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (kosenrasi kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani.
Checks and balances system adalah sistem di mana orang-orang dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Pengawasan (checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah suatu langkah maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and balances adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Bila seluruh ketiga cabang kekuasaan tersebut memiliki 29 checks terhadap satu sama lainnya, checks tersebut digunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang mengambil terlalu banyak kekuasaan dibatasi lewat tindakan cabang kekuasaan yang lain. Checks and Balances diciptakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Hal tersebut dapat tercapai dengan mensplit pemerintah dalam kelompok-kelompok persaingan yang dapat secara aktif membatasi kekuasaan kelompok lainnya. Hal ini akan berakhir bila ada suatu kelompok kekuasaan yang mencoba untuk menggunakan kekuasaannya secara illegal.
Check and balances merupakan asas penting dalam mengingat salah satu kajian dalam hukum tata negara adalah merupakan lembaga-lembaga negara yang sifatnya statis. Hal ini yang membedakannya dengan hukum administrasi negara, di mana fokus kajian nya adalah negara dalam keadaan dinamis. Sementara Ilmu Negara memandang negara secara umum.

H. Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Salah satu elemen penting dari asas-asas hukum tata negara juga adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal ini terkait dengan fungsi kelembagaan, tugas dan wewenang pemerintahan dalam struktur ketatanegaraan. Setiap elemen pemerintahan harus menjalankan fungsi pemerintahan yang memenuhi prinsip negara hukum dan asas pemerintahan yang demokratis.
Itulah sebabnya, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan mengenai keharusan administrasi pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan yang baik dengan berlandaskan pada hukum yang berlaku. Bahkan apabila aparatur pemerintahan tidak bisa menjalankan fungsi pemerintahan, atau melakukan pelanggaran terhadap fungsi-fungsi pemerintahan, maka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Hal ini memperlihatkan pentingnya eksistensi asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan negara dalam struktur ketatanegaraan. Konsep mengenai AAUPB ini berkaitan langsung dengan sikap tindak pemerintahan serta pertanggungjawaban terhadap tindakan mereka dalam menjalankan pemerintahan. AAUPB ini meliputi:
1.     Asas Kepastian Hukum
2.     Asas Kepentingan Umum
3.     Asas Keterbukaan
4.     Asas Kemanfaatan
5.     Asas Ketidakberpihakan/Tidak Diskriminatif
6.     Asas Kecermatan
7.     Asas Tidak Menyalahgunakan Kewewenangan
8.     Asas Pelayanan yang Baik
9.     Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
10.  Asas Akuntabilitas
11.  Asas Proporsionalitas
12.  Asas Profesionalitas
13.  Asas Keadilan


BAB 4
SUMBER HUKUM TATA NEGARA

A. Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau kalian langgar mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala sesuatu bentuk aturan yang menimbulkan sebuah sanksi apabila aturan tersebut dilanggar oleh orang perseorangan atau badan hukum maupun lembaga yang menjadi subjek hukum.
Kata sumber hukum biasanya sering digunakan dalam beberapa arti; 1) sebagai asas hukum; 2) menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku; 3) sebagai sumber berlakunya, yang memberikan kekuatan berlakunya secara formal kepa- da peraturan hukum; 4) sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum; dan 5) sebagai sumber terjadinya hukum. Oleh sebab itu, sumber hukum diartikan dalam dua pandangan ketika sumber hukum dimaksudkan sebagaimana tersebut di atas, yaitu: (i) Sebagai wellborn, ialah sumber asal, tempat dari mana asalnya hukum, tempat ada dalam alam pikiran dan kesadaran manusia, mengenai apa yang dilarang dan mengenai apa yang seharusnya dilakukan; (ii) sebagai kenbron, ialah sumber kenal, tempat di mana kita mengenal hukum dalam pelbagai peraturan perudang-undangan yang tertulis.
Dalam pandangan Hans Kelsen istilah sumber hukum itu dapat mengandung banyak pengertian karena sifatnya yang figurative and highly ambiguous. Pertama, yang lazimnya dipahami sebagai source of law ada dua macam, yaitu custom dan statute. Oleh karena itu, source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customary and statutory creation of law.

B. Sumber Hukum Tata Negara Materiel
Dalam berbagai literatur dikenal mengenai sumber hukum materiel dan sumber hukum formal. Keduanya memiliki perbedaan yang signifikan, karena sumber hukum materiel menjelaskan mengenai substansi dari hukum atau substansi hukum dari suatu masyarakat, sedangkan sumber hukum formal menjelaskan mengenai bentuk hukum yang dija. dikan sebagai dasar dalam hukum positif. Karena itu jelas perbedaannya, sumber hukum materiel berbicara mengenai isi dari hukum, sedangkan sumber hukum formal menjelaskan mengenai bentuk hukum.
Secara umum sumber hukum dalam arti materiel, yaitu suatu keyakinan/perasaan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum. Dengan demikian, keyakinan/perasaan hukum individu (anggota masyarakat) dan pendapat hukum (legal opinion) dapat menjadi sumber hukum materiel. Di samping itu, sumber hukum dalam arti materiel ialah sumber dari substansi hukum berupa perjanjian, kebiasaan-kebia- saan, dan sebagainya yang dapat memengaruhi pembentukan hukum.
Dalam hukum tata negara, substansi atau isi hukum ada dalam Pancasila. Pancasila adalah merupakan volkgeist atau jiwa bangsa. Sebuah bangsa memiliki jiwa yang di dalam nya menyangkut formula yakni isi hukum tata negara.

C. Sumber Hukum Tata Negara Formal
Selain sumber hukum tata negara materiel, dikenal pula sumber hukum tata negara formal, yang berhubungan dengan sumber-sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini perangkat kajian positivisme hukum sangat berkaitan dengan eksistensi sumber hukum tata negara formal, sebab menjadi dasar hukum bagi pembentukan sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, kelembagaan negara, dan kehidupan ketatanegaraan lainnya yang lebih luas. Adapun sumber hukum tata negara formal tersebut, yaitu:
1.     Peraturan Perundang-undangan
a.     Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
b.     Ketetapan MPR
c.      Undang-Undang/Perpu
d.     Peraturan Pemerintah
e.      Peraturan Presiden
f.       Peraturan Daerah Provinsi
g.     Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
h.     Peraturan Desa
2.   Kebiasaan atau Konvensi Ketatanegaraan
3.   Yurisprudensi dalam Hukum Tata Negara
4.   Traktat
5.   Doktrin



BAB 5
KONSTITUSI

A. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi dari sudut sejarah telah lama dikenal, yaltu sejak zaman Yunani Kuno. Diduga "Konstitusi Athena" yang ditulis oleh seorang Xenophon (abad ke-425 SM) merupakan konstitusi pertama, konstitusi Athena dipandang sebagai alat demokrasi yang sempurna. Dapat diduga bahwa pemahaman orang tentang apa yang diartikan Konsitusi, sejalan dengan pemikiran orang-orang Yunani Kuno tentang Negara. Hal ini dapat diketahui dari paham Socrates yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Plato, dalam bukunya Politea atau Negara, yang memuat ajaran-ajaran Plato tentang Negara atau hukum, dan bukunya Nomoi atau undang-undang, dan juga tulisan Aristoteles dalam bukunya Politica yang membicarakan tentang Negara dan hukum (keadilan).
Pengertian kita sekarang tentang istilah konstitusi berkaitan erat dengan dua perkataan Yunani Kuno politea dan bahasa Latin constitutio. Dari dua perkataan itulah awal mula gagasan konstitusi diekspresikan. Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah Constitusion of Clarendon 1164 yang disebut oleh Henry II sebagai consitution, aviate constitution or leges, a recordation vel recognition, menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry II. Glanvill sering menggunakan kata constitution untuk a royal edict (titah raja atau ratu).
Konstitusi yang ditinjau dari Sisi hukum disebut Constitutional Recht, yang diperhatikan ditekankan kepada faktor-faktor kekuasaan nyata dalam masyarakat, sedangkan Grondswet yang diperhatikan semata-mata konstitusi dalam arti sempit yaitu yang tertulis atau Undang-Undang Dasar saja. Berarti ikhwal konstitusi lebih luas daripada grondswet. Konstitusi selalu dihubungkan dengan hukum dasar suatu Negara. Hukum dasar yang dimaksud bisa berupa hukum tertulis, tetapi bisa juga hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini, konstitusi merupakan norma dasar yang mengatur Negara secara umum yang di dalamnya mencakup kekuasaan Negara, bentuk negara dan bentuk pemerintahan, lembaga negara dan mekanisme pembagian kekuasaan antara lembaga negara, warga negara, dan juga hak asasi manusia.

B. Konstitusi Menurut Para Ahli
Sebagai suatu cabang ilmu hukum, ada banyak pendapat mengenai konstitusi, ada beberapa ahli yang memberi pandangan terkait konstitusi, yaitu:
1.     K.C Wheare
2.     E.C.S Wade
3.     Hans Kelsen
4.     Eric Barendt
5.     Michael J. Perry
6.     Herman Heller
7.     Ferdinand Lasalle
8.     Jan Erik Lane
9.     C.F Strong
Pendapat ahli yang paling sering dijumpai adalah pendapat dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa konstitusi negara biasanya juga disebut sebagai hukum fundamental negara, yaitu dasar dari tata hukum nasional. Konstitusi secara yuridis dapat pula bermakna norma-norma yang mengatur proses pembentukan undang-undang, di samping mengatur pembentukan dan kompetensi dari organ-organ eksekutif dan yudikatif.

C. Sifat dan Bentuk Konstitusi
Sebagai hukum dasar suatu negara, konstitusi memiliki sifat dan bentuk yang dapat dijadikan sebagai alat ukur. Dari segi sifat, konstitusi dapat lentur atau fleksibel dan bisa juga kaku. Sifat yang fleksibel dan kaku ini disebabkan oleh bentuk konstitusi tersebut. Pada umumnya, konstitusi yang tertulis biasanya bersifat kaku karena tidak serta-merta bisa dilakukan perubahan apabila terjadi perkembangan dalam masyarakat. Sementara pada konstitusi yang tidak tertulis, ada kemudahan untuk menyesuaikan dengan perubagan dalam masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka menurut K.C. Wheare, sifat dari konstitusi dapat dibagi sebagai berikut:
1.     Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
2.     Fleksibel atau Rigid
Sifat konstitusi yang fleksibel dan juga kaku (rigid) bergantung pada tiga hal, yaitu:
a.      Mudah-tidak mudah diubah
b.   Mudah-tidak mudah dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat
c.      Tergantung kekuatan yang nyata, yang ada dalam masyarakat

D. Materi Muatan Konstitusi
Pada dasarnya, materi muatan konstitusi dapat dilihat substansinya seperti:
1.     Bentuk negara
2.     Bentuk pemerintahan
3.     Sistem pemerintahan
4.     Organ-organ negara
5.     Pembagian kekuasaan atas organ-organ negara
6.     Cara memperoleh kekuasaan untuk menduduki jabatan-jabatan dalam organ negara.
7.     Perlindungan terhadap HAM
8.     Kewarganegaraan
9.     Perubahan Konstitusi
Adapun menurut Hans Kelsen, dalam tulisannya yang berjudul General Theory od Law and State, Konstitusi berisi:
1.     Pembukaan;
2.     Penentuan isi ketentuan-ketentuan pada masa yang akan dating;
3.     Penentuan fungsi administratif dan yudikatif;
4.     Hukum yang inkonstitusional;
5.     Pembatasan konstitusional;
6.     Perlindungan hak;
7.     Jaminan konstitusi;

E. Kedaulatan Dalam Konstitusi
Setelah kita mendapat gambaran tentang apa yang dimaksud dengan konstitusi, perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan kedaulatan. Oleh karena kedaulatan ini terdapat dalam konstitusi. Jenis-jenis kedaulatan yang dimaksud, sebagai berikut:
1.     Kedaulatan Tuhan
2.     Teori Kedaulatan Raja
3.     Kedaulatan Negara
4.     Teori Kedaulatan Hukum
5.     Teori Kedaulatan Rakyat

F. Tafsir Konstitusi
Beberapa metode penafsiran Hukum yang dikemukakan oleh para sarjan sebagai berikut:
1.     Interpretasi Gramatikal
2.     Interpretasi Restriktif
3.     Interpretasi Ekstensif
4.     Interpretasi Literal atau Tekstual
5.     Interpretasi Autentik
6.     Interpretasi Sistematik
7.     Interpretasi Historis
8.     Interpretasi Teleologis
9.     Interpretasi Sosiologis
10.  Interpretasi Holistik
11.  Interpretasi Futuristik
12.  Interpretasi Komparatif (Perbandingan)
13.  Interpretasi Filosofis

G. Perubahan Konstitusi
Orang sepakat bahwa bagaimanapun sempurnanya suatu konstitusi, namun dalam kenyataan ia akan tetap tertinggal dari perkembangan masyarakat. Karena itu dapat dimengerti, bagaimanapun juga setiap konstitusi itu pada saat akan mengalami perubahan. Perubahan itu dimaksud untuk menyesuaikan konstitusi itu dengan perkembangan masyarakat. Dari sudut inilah, dirasakan perlunya suatu pasal dari setiap konstitusi yang mengatur tentang prosedur perubahan. Umpamanya dalam konstitusi Amerika Serikat, Article V adalah article yang mengatur tentang cara perubahan, demikian pula dalam Undang-Undang Dasar 1945, hal yang sama diatur dalam Pasal 37. Perubahan konstitusi sebenarnya dilakukan saat tuntutan besar dari masyarakat atau saat konstitusi tidak mampu lagi mengatur dan mengawasi berbagai bentuk dinamika perkembangan zaman yang sangat pesat. Sebelumnya telah dibahas mengenai prosedur atau cara mengubah konstitusi menurut ahli hingga yang tertuang dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945. Selain cara perubahan konstitusi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, di sini perlu juga dipaparkan bagaimana masalah sistem perubahannya.
Apabila dipelajari secara teliti mengenai sistem perubahan konstitusi di berbagai negara, paling tidak ada dua sistem yang sedang berkem- bang, yaitu renewel (pembaruan) dianut di negara-negara Eropa kontinental dan amandement (perubahan) seperti dianut negara-negara Anglo Saxon. Sistem yang pertama ialah, apabila suatu konstitusi (UUD) yang dilakukan perubahan (dalam arti dilakukan pembaruan), maka yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut sistem ini ialah Belanda, Jerman, dan perancis. Sistem yang kedua ialah, apabila suatu konstitusi diubah (diamendemen), maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, hasil amendemen tetap merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusinya


BAB 6
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Pengertian
Kata "sejarah" berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata syajaratun (dibaca syajarah), yang memiliki arti "pohon kayu". Pengertian "pohon kayu" di sini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu kesinambungan (konti- nuitas). Selain itu ada pula peneliti yang menganggap bahwa arti kata "syajarah" tidak sama dengan kata "sejarah", sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai "pohon keluarga" atau asal usul atau silsilah. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata "syajarah" dan kata "sejarah", karena sejarah berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat, dan asal usul tentang seseorang atau kejadian.
Yang dimaksud dengan sejarah ketatanegaraan dalam tulisan ini adalah perkembangan ketatanegaraan atau dinamika ketatanegaraan, yakni terkait dengan konstitusi, kelembagaan negara, sistem pemerintahan, bentuk negara, bentuk pemerintahan, serta hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan secara umum dalam konteks historis. Sejarah ketatanegaraan dalam bab ini dimulai dari masa pra-proklamasi, yang tentu saja penulis tidak mengulurnya terlalu jauh ke belakang, seperti di masa Boedi Utomo misalnya, tetapi dimulai dari rumusan awal konsepsi ketatanegaraan diperdebatkan. Karena itu, sejarah ini dimulai saat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saat Muh. Yamin membuka dengan pidatonya pada 29 Mei 1945, yang dilanjutkan oleh Soepomo pada 31 Mei 1945 dan yang teakhir adalah Soekarno pada 1 Juni 1945. Diskursus konseptual mengenai sistem ketatanegaraan Indonesia yang dimulai dari masa ini merupakan langgam historical yang tak ter- elakkan, bahwa fondasi konstitusional Indonesia merdeka dibangun dari sini. Dalam konteks yang lebih dalam lagi, bahwa dasar-dasar negara ditemukan, bermula dari sidang perdana BPUPKI ini.

Sejarah ketatanegaraan Indonesia dimulai dari:
1.     Periode Pra-Proklamasi 1945
2.     Periode 17 Aguustus 1945-1949
3.     Periode Konstitusi RIS 1949
4.     Periode UUDS 1950
5.     Periode kembali ke UUD 1945
6.     Periode Pasca-Amendemen UUD NRI 1945


BAB 7
LEMBAGA NEGARA

A. Pengertian Lembaga Negara
Secara terminologis, lembaga negara menggunakan istilah "political instituion" dalam kepustakaan Inggris, "staatorganen" dalam kepustakaan Belanda, dan "lembaga negara, badan negara, atau organ negara" dalam bahasa Indonesia. Dalam konteks lain, Lembaga Negara juga sering kali menggunakan istilah organ negara, di mana lembaga negara juga merupakan bagian negara yang menjalankan fungsi atau kewenangan. Oleh sebab itu, menurut Hans Kelsen, "Whoever fulfills a function detemined by the legal order is an organ". Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ.
Untuk memahami pengertian organ atau lembaga secara lebih dalam kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state-organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan, "Whoever fulfills a fanctiondetermined by the legal order is an organ. " (Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.) Artinya organ-organ itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the dexecution of a legal sanction.

B. Lembaga Negara Lapis Pertama
1.     Majelis Permusyaratan Rakyat
2.     Dewan Perwakilan Rakyat
3.     Dewan Perwakilan Daerah
4.     Presiden
5.     Badan Pemeriksa Keuangan
6.     Mahkamah Konstitusi
7.     Mahkamah Agung
8.     Komisi Yudisial

C. Lembaga Negara Lapis Kedua
1.     Menteri Negara
2.     Tentara Nasional Indonesia
3.     Kepolisian Negara Republik Indonesia
4.     Komisi Pemilihan Umum
5.     Dewan Pertimbangan Presiden
6.     Bank Sentral

D. Auxiliary State Organ (Lembaga Negara Bantu Sebagai Lapis Ketiga)
1.     Lembaga dengan Nama “Badan”
2.     Lembaga dengan Nama “Dewan”
3.     Lembaga dengan Nama “Komisi”
4.     Lembaga dengan Nama “Komite”
5.     Lembaga dengan Nama “Lembaga”

BAB 8

SISTEM PEMERINTAHAN

A. Pengertian Sistem Pemerintahan
Terhadap kata atau istilah "sistem", Carl J. Friedrich—sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim—memaknai sebagai suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional, baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu membentuk suatu ketergantungan antara bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keseluruhannya itu. Berbeda dengan Visser T. Hooft—sebagaimana yang dikutip oleh Sirajuddin, dkk.—memaknai kata "sistem" sebagai sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur dan komponen yang selalu pengaruh-memengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas. Nampak bahwa Carl J. Friedrich lebih memfokuskan makna "sistem" sebagai sesuatu yang bekerja secara keseluruhan yang bersifat fungsional, sedangkan bagi Visser T. Hooft lebih memfokuskan pada gabungan beberapa unsur dan kompo- nen yang terdiri dari satu atau beberapa asas. Makna "sistem" juga dapat ditemukan pada Black's Law Dictionary yang diartikan sebagai "orderly combination or arrangement, as of particy- lars, parts or elements into a whole; especially such combination according to some rational principle"
Berdasarkan pemaknaan istilah "sistem" dan "pemerintahan" di atas, maka menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagaian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Pembagian sistem pemerintahan:
1.     Sistem Pemerintahan Presidensial
2.     Sistem Pemerintahan Parlementer
3.     Sistem Pemerintahan Campuran
4.     Sistem Pemerintahan Referendum

B. Sistem Pemerintahan di Indonesia
Sri Soemantru kemudian membagi sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia ke dalam dua kategorisasi yang didasarkan atas pengaturan konstitusi (UUD) yang pernah berlaku di Indonesia, yakni:
1.     Sistem Pemerintahan Sebelum Perubahan UUD 1945
2.     Sistem Pemerintahan Sesudah Perubahan UUD 1945

1. Sistem Pemerintahan Sebelum Perubahan UUD 1945
Berdasarkan uraian yang dipaparkan oleh Sri Soemantri, dapat diperinci ciri sistem pemerintahan di Indonesia sebelum amendemen UUD 1945, sebagai berikut:
a.      MPR merupakan penjelmaan dari rakyat Indonesia yang memliki sejumlah kekuasaan, yaitu menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan memilih presiden dan wakil presiden—ciri-ciri pemerintahan parlementer;
b.     Karena presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, maka presi- den dan wakil presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR selaku penjelmaan dari kedaulatan rakyat Indonesia—ciri-ciri pemerintahan parlementer,
c.      Presiden merupakan memegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif dan dibantu oleh para menteri yang diangkat dan diberhentikan sendiri oleh presiden. Masa jabatan presiden selama lima tahun—ciri- ciri sistem pemerintahan presidensial;
d.     Dalam praktiknya, pemberhentian presiden oleh MPR pernah terjadi pada sistem ketatanegaraan Republik Indonesia semasa kepemimpinan presiden Soekarno melalui Ketetapan MPRS-RI XXXIII/ MPRS/1967 tentang pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Begitu pula pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid melalui Ketetapan MPR-RI No. II/ MPR/2001 tentang Pertanggungiawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurahman Wahid."

2. Sistem Pemerintaham Sesudah Perubahan UUD 1945
Amendemen keempat UUD 1945 (1999-2002) telah banyak menggeser pelaksana kekuasaan pemerintahan negara. Utamanya Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia digeser secara mendasar melalui amendemen UUD 1945—utamanya pada amendemen ketiga (9 November 2001). Sri Soemantri mengemukakan perubahan ketiga dilakukan— menurut teori konstitusi—terhadap susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar. Bahkan ada substansi penjelasan yang sifatnya normatif dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945.
Adapun perubahan ketiga ini meliputi:
a.      Kedudukan dan kekuasaan MPR;
b.     Negara Indonesia adalah negara hukum;
c.      Jabatan presiden dan wakil presiden. Hal ini berkenaan dengan:
                                               i.     Tata cara pemilihan;
                                             ii.      Pemilihan presiden dan wakil presiden langsung oleh rakyat;
                                           iii.     Pembentukan lembaga negara baru, seperti Mahkamah Konsti- tusi, Dewan Perwakilan Daerah, dan Komisi Yudisial;
                                           iv.     Pengaturan tambahan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan;
                                             v.     Pemilihan umum.

BAB 9

PEMERINTAHAN DAERAH

A. Pengertian Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi Seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. pengertian yang dikemukakan di atas secara konseptual menyebut kata "pemerintahan". Pemerintahan berarti bermakna luas, tidak Saja organ eksekutif, tetapi juga menyangkut organ legislatif dan organ yudikatif. Karena itu, para ahli membagi arti pemerintahan ke dalam dua arti, yakni: pertama, pemerintahan dalam arti luas, yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagaimana yang penulis nyatakan di atas. Kedua, pemerintahan dalam arti sempit; yakni yang menyangkut hanya eksekutif saja, yakni pemerintah.

B. Asas Pemerintahan Daerah
Dalam konteks otonomi daerah, pemerintahan daerah bertumpu tiga asas sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni:
1.     Desentralisasi
2.     Dekonsentrasi
3.     Medebewind (Tugas Pembantuan)

C. Pembagian Urusan Pemerintahan
Dalam konteks pemerintahan daerah, urusan pemerintahan dibagi atau dipilah-dipilah sesuai dengan kebutuhan yang ada di suatu negara, dan di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dari sistem negara kesatuan yang dianut. Dalam hal ini, urusan pemerintahan yang ada pada peme- rintahan daerah hanyalah sisa urusan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah sebagai satu-kesatuan dari pemerintah pusat memperoleh tugas-tugas yang menjadi urusan pemerintahannya melalui peraturan perundang-undangan dengan berdasarkan logika bentuk nega- ra sebagaimana yang dimandatkan oleh UUD NRI tahun 1945. Urusan Pemerintahan terdiri atas:
1.     Urusan Pemerintahan Absolut
Meliputi:
a)     Politik Luar Negeri
b)     Pertahanan
c)     Keamanan
d)     Yutisi
e)     Moneter dan fiscal nasional
f)      Agama
2.     Urusan Pemerintahan Konkuren
·       Urusan Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat:
a)     pendidikan;
b)     kesehatan;
c)     pekerjaan umum dan penataan ruang;
d)     perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e)     ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f)      sosial.
·       Urusan pemerintahan wajib yang tidak berhubungan dengan masyarakat:
a)     tenaga kerja;
b)     pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c)     pangan;
d)     pertanahan;
e)     lingkungan hidup;
f)      administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g)     pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h)     pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i)      perhubungan;
j)      komunikasi dan informatika;
k)     koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l)      penanaman modal;
m)   kepemudaan dan olahraga;
n)     statistik;
o)     persandian;
p)     kebudayaan;
q)     perpustakaan; dan
r)      kearsipan.
·       Urusan Pemerintahan pilihan meliputi:
a)     kelautan dan perikanan;
b)     pariwisata;
c)     pertanian;
d)     kehutanan;
e)     energi dan sumber daya mineral;
f)      perdagangan;
g)     perindustrian; dan
h)     transmigrasi.


3.     Urusan Pemerintahan Umum
Meliputi:
a)     pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b)     pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
c)     pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
d)     penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
e)     koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
f)      pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan
g)     pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.

D, Unsur Pemerintahan Daerah
Unsur Pemerintahan Daerah terdiri atas tiga komponen yakni:
1.     Pemerintah Daerah
2.     Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3.     Perangkat Daerah
Pembagian ini sudah sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan Daerah. Pemerintah daerah adalah kepala daerah yang berfungsi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1.     Pembentukan peraturan daerah (Perda)
2.     Anggaran
3.     Pengawan 
Peraturan perundang-undangan juga menetapkan mengenai Hak DPRD, yakni:
1.     Hak Interpelasi
2.     Hak Angket
Dan selanjutnya Kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dibantu oleh perangkat daerah, yang terdiri atas:
Perangkat daerah Provinsi:
1.     Sekretariat daerah
2.     Sekretariat DPRD
3.     Inspektorat
4.     Dinas
5.     Badan
Perangkat daerah kabupaten/kota:
1.     Sekretariat daerah
2.     Sekretariat DPRD
3.     Inspektorat
4.     Dinas
5.     Badan
6.     Kecamatan

E. Kewenangan Daerah Dalam Negara Kesatuan
Di dalam negara kesatuan, pemerintah pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara. Agar tidak sewenang-wenang, aktivitas pemerintah pusat diawasi dan dibatasi oleh undang-undang. Konsekuensi logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara, maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah pemerintah pusat, harus tunduk kepada pemerintah pusat. Tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara organisasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan menjadi tumpang-tindih dan tabrakan dalam pelak- sanaan kewenangan (prinsip unity command). Di dalam negara kesatuan tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Akan tetapi, karena sistem pemerintahan indonesia salah satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan, keuangan, pengawasan, dan antarsatuan organisasi pemerintahan.



BAB 10

PEMERINTAHAN DESA

A. Pengertian Pemerintahan Desa
Pengertian pemerintahan desa sebenarnya telah termuat secara jelas melalui Pasal 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemerintah desa sejatinya juga merupakan bagian sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang titik semangatnya terletak pada semangat desentralisasi yang dibangun selama ini.
Secara konstitusional, pemerintahan desa dapat ditarik melalui Pasal 18 UUD NRI 1945 walaupun pada rumusan konstitusi yang ada saat ini tidak menyebut secara khusus kata "desa". Namun semangat yang terbangun pada Pasal 18 menjadi salah satu semangat besar lahirnya pemerin- tahan desa, tentu seirama dengan semangat desentralisasi yang selama ini dibangun. Posisi pemerintah desa dalam konstelasinya dengan praktik desentralisasi dan otonomi daerah baru terlihat secara jelas setelah terbitnya.

B. Tentang Desa
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenang- an untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

C. Asas, Tujuan, dan Fungsi Pemerintahan Desa
Menurut UU Desa, tujuan pengaturan desa yakni:
1.     Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya NKRI.
2.     Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa
3.     Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa.
4.     Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan asset desa guna kesejahteraan bersama
5.     Membentuk pemerintahan desa yang professional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab.
6.     Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa
7.     Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa
8.     Memajukan perekonomian masyarakat desa
9.     Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan
Adapun asas pemerintahan desa, sebagai berikut:
1.     Rekognisi
2.     Subsidiaritas
3.     Keberagaman
4.     Kebersamaan
5.     Kegotongroyongan
6.     Kekeluargaan
7.     Musyawarah
8.     Demokrasi
9.     Kemandirian
10.  Partisipasi
11.  Kesetaraan
12.  Pemberdayaan
13.  Keberlanjutan

D. Unsur-Unsur Pemerintahan dan Pemerintah Desa
Unsur-unsur pemerintahan dan pemerintah desa meliputi:
1.     Kepala Desa
2.     Perangkat Desa
a)     Sekretariat Desa
b)     Pelaksana Kewilayahan
c)     Pelaksana Teknis
3.     Badan Permusyawaratan Desa

E. Struktur Organisasi Perangkat Desa
Perangkat desa merupakan salah satu unsur dalam pelaksanaan pemerintahan desa, perangkat desa membantu kepala desa dalam menjalankan tugasnya. Perangkat desa terdiri atas sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis.
Sekretariat desa dipimpin oleh sekre. taris desa dan dibantu oleh unsur staf sekretariat. Sekretariat desa paling banyak terdiri atas tiga urusan, yaitu urusan tata usaha dan umum, urusan keuangan, dan urusan perencanaan, dan paling sedikit dua urusan yaitu urusan umum dan perencanaan, dan urusan keuangan masing-masing urusan dipimpin oleh kepala urusan. Pelaksana kewilayahan merupakan unsur pembantu kepala desa sebagai satuan tugas kewilayahan. Jumlah unsur pelaksana kewilayahan ditentukan secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang dibutuhkan dengan kemampuan keuangan desa serta memperhatikan luas wilayah kerja, karakteristik, geografis, jumlah kepadatan penduduk, serta sarana prasarana penunjang tugas. Tugas kewilayahan meliputi, penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Pelaksana kewilayahan dilaksanakan oleh kepala dusun atau sebutan lain yang ditetapkan lebih Ianjut dalam peraturan bupati/walikota densan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pelaksana teknis merupakan unsur pembantu kepala desa sebag'tl pelaksana tugas operasional. Pelaksana teknis paling banyak terdiri atas tiga seksi, yaitu seksi pemerintahan, seksi kesejahteraan dan seksi pe layanan, paling sedikit dua seksi yaitu seksi pemerintahan, Serta kesejahteraan dan pelayanan. Masing-masing seksi dipimpin oleh kepala

F. Pembangunan Desa
Undang-Undang Desa secara tegas telah membedakan antara pembangunan desa yang menempatkan desa sebagai subjek pembangunan dan pembangunan pedesaan yang menjadi domain pemerintah. Hal ini terlihat dengan adanya pengaturan khusus tentang pembangunan desa dan pembangunan kawasan pedesaan. Pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan Sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi Iokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, UU Desa menggunakan dua pendekatan, yaitu "desa membangun" dan "membangun desa" yang diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan desa. Sebagai konsekuensinya, desa menyusun perencanaan pembangunan desa yang mengacu kepada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Konsep perencanaan pembangunan desa yang diatur dalam UU Desa mengalami kemajuan dan perubahan dibandingkan dengan substansi yang diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Sebelumnya, perencanaan desa merupakan bagian dari perencanaan kabupaten/kota. Sekarang, perencanaan pembangunan desa adalah Village-self Planning yang berdiri sendiri dan diputuskan sendiri oleh desa.

G. Peraturan Desa
Selain terdapat peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Bupati bersama DPRD, terdapat juga peraturan di tingkat desa, yang dibahas bersama oleh kepada desa dengan BPD. Jenis peraturan ini dari segi prosesnya masih sederhana, meskipun dapat dikategorikan sebagai suatu peraturan perundang-undangan.
Jenis peraturan di desa terdiri atas peraturan desa, peraturan bersama kepala desa, dan peraturan kepala desa. Peraturan tersebut dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Desa ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawa- ratan Desa. Rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa harus mendapatkan evaluasi dari bupati/walikota sebelum ditetapkan menjadi peraturan desa. Hasil evaluasi tersebut diserahkan oleh bupati/ walikota paling lama 20 hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh bupati/walikota. Dalam hal bupati/walikota telah memberikan hasil evaluasi, kepala desa wajib memperbaikinya. Kepala desa diberi waktu paling lama 20 hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.

H. Keuangan Desa
Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Keuangan desa pada UU Desa diatur pada Bab VIII tentang Keuang. an Desa dan Aset Desa yang terdiri dari beberapa pasal. Secara umum, bahasan keuangan desa dapat dikelompokkan menjadi beberapa tema, yaitu lingkup keuangan desa, pendapatan desa, APB Desa, belanja dan aset desa.
Dalam proses pembahasan di DPR, perdebatan terbesar ada pada rancangan pasal yang mengatur tentang pendapatan desa, khususnya pasal 72 paling intensif dibahas. Sutoro Eko (2014) mengutip pernyataan dari Ketua Pansus RUU Desa, Ahmad Muqowwam, menyatakan bahwa jika UU Desa diperas menjadi satu pasal, maka pasal itu adalah Pasal 72 yang berisi sumber-sumber pendapatan desa. Lingkup keuangan desa dibahas di Pasal 71 UU Desa. Pasal ini membatasinya dengan semua hak dan kewajiban yang menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan desa. Pasal lain terkait hal ini adalah Pasal 73 yang mengatur tentang struktur APB Desa yang terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan desa. Rancangan APB Desa diajukan oleh kepala desa dan kemudian dimusyawarahkan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan hasilnya ditetapkan dalam bentuk peraturan desa.


BAB 11

KEWARGANEGARAAN

A. Pengertian Kewarganegaraan
Kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu status menurut hukum dari suatu negara yang memberi keuntungan-keuntungan hukum tertentu dan membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada individu. Adapun kebangsaan (nationality) sebagai istilah hukum internasional menunjuk kepada ikatan seorang individu terhadap suatu negara yang memberi kepada suatu negara hak untuk mengatur atau melindungi bangsanya, meski di luar negeri sekalipun. Sudargo Gautama mengartikan kewarganegaraan sebagai ikatan an- tara individu dan negara, yaitu individu merupakan anggota penuh secara politik dalam negara itu dan berkewajiban untuk tetap setia kepada negara (pennanence of allegiance), tetapi sebaliknya negara berkewajiban melindungi individu tersebut di mana pun ia berada.

B. Asas Kewarganegaraan
Menurut penjelasan umum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, terkandung asas kewarganegaraan umum dan kewarganegaraan khusus. Asas kewarganegaraan umum meliputi:
1.     Asas ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.     Asas ius soli terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran yang secara terba- tas diberlakukan bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan undang- undang ini.
3.     Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu ke- warganegaraan bagi setiap orang.
4.     Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Adaun asas kewarganegaraan khusus yang terkandung diundang-undang ini, meliputi:
1.     Asas kepentingan nasional
2.     Asas perlindungan maksimum
3.     Asas persamaan di muka hukum dan pemerintah
4.     Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
5.     Asas keterbukaan

C. Kewarganegaraan Berdasarkan UU Kewarganegaraan
Menurut C.S.T. Kansil, dalam menentukan status kewarganegaraan seseorang melalui naturalisasi digunakan dua stelsel. Pertama, stelsel aktif di mana untuk menjadi warga suatu negara, seseorang harus melakukan tindakan-tindakan hukum secara aktif. Kedua, stelsel pasif, di mana seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai warga negara tanpa melak kan suatu tindakan hukum.
Melalui dua stelsel tersebut, maka seseorang memiliki hak untuk memilih dan menentukan status kewarganegaraannya, yakni melalui hak opsi, di mana seseorang diberi hak untuk memilih status kewarganegaraan dengan cara stelsel aktif dan hak repudiasi, di mana seseorang berhak untuk menolak status kewarganegaraannya.
Menurut Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2006, Indonesia memberi kesem- patan kepada orang asing (bukan warga negara RI) untuk menjadi warga negara Indonesia. Caranya ialah pewarganegaraan atau naturalisasi. Seorang asing yang ingin menjadi warga negara RI dengan cara pewarganegaraan harus mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman.

D. Cara Penentuan Kewarganegaraan
Dala, menentukan kewarganegaraan beberapa negara memakai asas ius soli, sedangkan di negara Iain berlaku asas ius sanguinis. Hal demikian itu menimbulkan dua kemungkinan, yaitu:
1.     Apatride, yaitu adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan.
2.     Bipatride, yaitu adanya seorang penduduk yang mempunyai dua macam kewarganegaraan sekaligus (kewarganegaraan rangkap atau dwikewarganegaraan).  
Pasal I ayat (1) UU Kewarganegaraan secara normatif menentukan, bahwa warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berda- sarkan peraturan perundang-undangangan. Undang-Undang Kewarganegaraan juga menentukan, bahwa yang berhak menjadi WNI adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan berdasar- kan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara Iain sebe- lum UU kewarganegaraan ini diundangkan sudah menjadi WM. Selain ketentuan itu, yang menjadi WNI secara otomatis disebabkan oleh tiga peristiwa hukum: (1) berdasarkan keturunan dari orangtua (ius sanguinis); (2) berdasarkan tempat kelahiran (ius soli) dan (3) proses pengangkatan anak (adopsi).


BAB 12

HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak tersebut diperoleh bersama dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat (Tilaar, 2001). HAM bersifat umum (universal) karena diyakini beberapa hak dimiliki tanpa perbe- daan atas bangsa, ras, atau jenis kelamin. HAM juga bersifat supralegal, artinya tidak bergantung pada pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi karena berasal dari sumber yang lebih tinggi (Tuhan). Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia dengan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia telah menjadi bahasa sehari-hari di kalangan birokrasi, militer maupun di kalangan masyarakat umum. Sebelum membahas lebih jauh, maka untuk menghindari kesalahan pendefinisian/kesalahan pengertian dalam tulisan ini, dikemukakan beberapa pendapat mengenai hak asasi manusia. Terdapat beberapa terminologi yang biasanya digunakan dalam tradisi akademik tentang sebutan HAM. Istilah satu dengan lainnya masing- enggunakan salah satu di antaranya telah ter- wakilkan pula yang lainnya. Istilah-istilah dimaksudkan sebagai berikut:
1.     Human rights.
2.     Natural rights.
3.     Fundarnental rights.
4.     Civil rights.
5.     Hak asasi manusia.

B. Sejarah Hak Asasi Manusia
Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran/kehadirannya di dalam kehidupan dan masyarakat. Berawal dari dua perang besar di dunia (Perang Dunia I dan II) timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia naskah internasional. Usaha ini pada 1948 berhasil dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights (pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB. Secara historis, hak asasi manusia selalu diwarnai oleh serangkaian perjuangan yang tidak jarang bahkan menjelma dalam bentuk revolusi. sejarah juga mencatat banyak kejadian di mana orang, baik secara individu maupun kelompok, mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai haknya, bahkan terkadang disertai dengan taruhan jiwa dan raga.

C. Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia
Menurut Pasal 3-21 DUHAM, hak personal, hak legal, hak sipil, dan politik meliputi:
1.     Hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi.
2.     Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan.
3.     Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperkemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan.
4.     Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi.
5.     Hak untuk pengampunan hukum secara efektif.
6.     Hak bebas dari penangkapan, penahanan, atau pernbuangan yang sewenang-wenang.
7.     Hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak.
8.     Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah.
9.     Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat.
10.  Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik.
11.  Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu.
12.   Hak bergerak.
13.  Hak memperoleh suaka.
14.   Hak atas satu kebangsaan.
15.  Hak untuk menikah dan membentuk keluarga.
16.  Hak untuk mempunyai hak milik.
17.  Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan beragama.
18.  Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat.
19.  Hak untuk berhimpun dan berserikat.
20.  Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Sementara itu dalam UUD 1945 (amendemen I-IV UUD 1945) memuat hak asasi manusia yang terdiri dari hak:
1.     Hak Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.
2.     Hak kedudukan yang Sama di depan hukum.
3.     Hak kebebasan berkumpul.
4.     Hak penghidupan yang layak.
5.     Hak kebebasan berserikat,
6.     Hak memperoleh pengajaran atau pendidikan.
Selanjutnya secara operasional beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut:
1.     Hak untuk hidup.
2.     Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3.     Hak mengembangkan diri. Hak memperoleh keadilan.
4.     Hak atas kebebasan pribadi. Hak atas rasa aman. Hak atas kesejahteraan. Hak turut serta dalam pemerintahan.
5.     Hak wanita.
6.     Hak anak.

D. Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia
Rumusan HAM yang masuk dalam UUD NRI 1945 dapat dibagi dalam beberapa aspek, yaitu:
1.     HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan.
2.     HAM berkaitan dengan keluarga.
3.     HAM berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
4.     HAM berkaitan dengan pekerjaan.
5.     HAM berkaitan dengan kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan, kebebasan bersikap, dan berserikat.
6.     HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi.
7.     HAM berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.
8.     HAM berkaitan dengan kesejahteraan sosial.
9.     HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan.
Bentuk pengaturan lebih lanjut tentang hak asasi manusia sebagaimana amanat UUD, sebagai berikut:
1.     Sesuai dengan pengaturan pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya telah ditetapkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 ten- tang Kernerdekaan Menyampaikan pendapat Di Muka Umum dan Undang-Undang NO. 39 tentang Hak Asasi Manusia.
2.     Sesuai dengan pengaturan kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, telah ditetapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
3.     Sesuai dengan pengaturan pasal 281 ayat (5) tentang penegakan dan pelindungan hak asasi manusia, telah ditetapkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Secara garis besar, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang mengatur hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia (Pasal 9 s/d 66), terdiri dari:
1.     Hak untuk hidup.
2.     Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3.     Hak mengembangkan diri.
4.     Hak memperoleh keadilan.
5.     Hak atas kebebasan pribadi.
6.      Hak atas rasa aman.
7.     Hak atas kesejahteraan.
8.     Hak turut serta dalam pemerintahan.
9.     Hak wanita dan hak anak. 



BAB 13

PEMILIHAN UMUM

A. Pengertian Pemilu
Salah satu cara atau sarana untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan adalah dengan melaksanakan pemilu. Pemilihan umum adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby, dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakai Oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Apabila ditelisik lebih jauh lagi, definisi pemilu menurut beberapa undang-undang juga memiliki kesamaan. Dalam UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah undang-undang pertama tentang pemilihan umum di Indonesia. Di dalam undang-undang ini tidak ada definisi atau batasan mengenai pemilihan umum. Hanya disebutkan di bagian Menimbang undang-undang menegaskan "bahwa untuk pemilihan anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat perlu diadakan peraturan undang-undang." Dapat dipahami dari ketentuan ini, tidak ada batasan pengertian yang dapat dijadikan sebagai acuan tentang definisi pemilihan umum. Pemilihan anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemilihan umum hanya mengatur tentang siapa yang berhak memilih dan dipilih, soal pencalonan, tentang daerah pemilihan serta hal-hal teknis lainnya.

B. Sistem Pemilu
Pada umumnya sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis.
Sistem pernilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu yang sama, Adapun sistem pemilihan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga) fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas).
Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan, pemilihan organis dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan fungsional (function representation) yang biasa dikenal dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Irlandia. Pemilihan anggota Senat Irlandia dan juga para Lords yang akan duduk di House of Lords Inggris, didasarkan atas pan- dangan yang bersifat organis tersebut. Dalam Sistem pemilihan meka- nis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem dua partai atau pun multipartai menurut paham liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan sistem satu partai menurut paham komunisme. Tetapi dalam sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu di kembangkan, karena pernilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri.
Sistem Pemilihan mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua sistem pemilihan umum, yaitu:
1.     Sistem Proporsional
2.     Sistem Distrik

C. Asas-Asas Pemilu
Asas-asas pemilu, baik yang tertuang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu maupun UU Pemilu sebelumnya, sebagai berikut:
1.     Langsung
2.     Umum
3.     Bebas
4.     Rahasia
5.     Jujur
6.     Adil

D. Peserta Pemilu
Secara sederhana, peserta pemilu merupakan partai politik. Masyarakat sudah mafhum memahami ini, oleh karena di seluruh dunia, bahwa peserta pemilu tidak lain adalah partai politik. Tetapi selain partai politik, sebenarnya terdapat juga calon presiden dan wakil presiden dan calon perseorangan. Namun pengertian yuridis mengenai peserta pemilu adalah apa yang tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan: "Peserta Pemilu adalah partai politik untuk pernilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk permilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk pemilu presiden dan wakil presiden." Karena itu, ada tiga komponen yang menjadi peserta pemilu yaitu: partai politik, calon perseorangan untuk DPD, serta calon presiden dan wakil presiden.

E. Penyelenggara Pemilu
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, jelas mengatur mengenai lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Dalam undang-undang ini mengenal tiga lembaga penyelenggara pemilu, yakni, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang kesemuanya merupakan lembaga yang independen dalam menyelenggarakan pemilu. Masing-masing ketiga lembaga tersebut memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda dalam rangka menyelenggarakan pemilu di Indonesia. Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dijabarkanlah berbagai norma hukum terkait dengan kelembagaan penyelenggara pemilu. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang pemilu tersebut, maka lembaga penyelenggara pemilu, yaitu:
1.     Komisi Pemilihan umum
2.     Badan Pengawas Pemilu
3.     Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

F. Pemantauan Masyarakat Terhadap Pemilu
Sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi, pemilu tidak saja diawasi Oleh lembaga formal Seperti Bawaslu, tetapi juga dapat dipantau oleh pemantau pemilu. Pemantau pemilu meliputi: (1) organisasi kemasyarakatan berbadan hukum yayasan atau berbadan hukum perkumpulan yang terdaftar pada pemerintah atau pemerintah daerah; (2) lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri; (3) lembaga pemilihan luar negeri; dan (4) perwakilan negara sahabat di Indonesia.
Pemantau pemilu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) bersifat independen; (2) mempunyai sumber dana yang jelas; dan (3) teregistrasi dan memperoleh izin dari Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Ba- waslu kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.
Pemantau pemilu mempunyai hak antara Iain:
1.     Mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari pemerintah Indonesia;
2.     Mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan pemilu;
3.     Memantau proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPS;
4.     Mendapatkan akses informasi yang tersedia dari Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu kabupaten/kota;
5.     Menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu.
Selain diberikan hak, pemantau juga mempunyai kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban-kewajiban tersebut, yaitu:
1.     Mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik indonesia.
2.     Mematuhi kode etik pemantau pemilu yang diterbitkan oleh Bawaslu
3.     Melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal ke Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan.
4.     Menggunakan tanda pengenal selama menjalankan pemantauan.
5.     Menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan.
6.     Melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau pemilu Serta tenaga pendukung administratif kepada Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu kabupaten/kota sesuai dengan Wilayah pemantauan.
7.     Menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara pemilu.
8.     Menghormati adat istiadat dan budaya setempat.
9.     Bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan.
10.  Menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan mengklarifikasikan kepada Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu kabupaten/kota.
11.  Melarporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu kabupaten/kota.
Pemantau juga dibatasi dengan larangan antara lain:
1.     Melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan pemilu.
2.     Memengaruhi dalam menggunakan haknya untuk memilih,
3.     Mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara pemilu.
4.     Memihak kepada peserta pemilu tertentu.
5.     Menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung peserta pemilu.
6.     Menerima atau memberikan hadiah, imbalan, arau fasilitas apa pun  dari atau kepada peserta pemilu.
7.     Mencampuri dengan cara apa pun unsan militik dan pemerintahan
8.     Membawa senjata, bahan peledak, darvatau bahan berbahaya lainnya selama melakukan pemantauan.
9.     Masuk ke dalam TPSa.
10.  Melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau pemilu.

G. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu
Selain keterlibatan pemantau, pemilu juga diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat bisa dilakukan dalam bentuk: pertama, sosialisasi pemilu; pendidikan politik bagi pemilih; ketiga survei atau jajak pendapat tentang pemilu; dan keempat penghitungan cepat hasil pemilu.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilu dilakukan dengan berbagai ketentuan di antaranya: pertama, tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu; kedua, tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu; ketiga, bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan keenpat, mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

H. Penetapan Hasil Pemilu
Dalam menetapkan hasil pemilu, Komisi pernilihan Umum menetapkan dua jenis hasil pemilu. Pertama, hasil pemilu presiden dan wakil presiden terdiri atas perolehan suara pasangan calon. Kedua, hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terdiri atas perolehan suara partai politik, Calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota Serta perolehan suara calon anggota DPD. Da- lam hal ini, undang-undang menyatakan: "KPU wajib menetapkan secara nasional hasil pemilu anggota, DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan hasil pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Penetapan peroleh suara dilakukan oleh KPLJ secara berjenjang ngan cara sebagai berikut:
1.     Perolehan suara pasangan Calon presiden dan calon wakil presiden ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka.
2.     Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk Calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka.
3.     Perolehan Suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka.
4.     Perolehan suara Partai politik untuk calon anggota DPRD kabupa- ten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka.

I. Pelanggaran Pemilu
Laporan pelanggaran pemilu disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat: (1) nama dan alamat pelapor; (2) pihak terlapor; (3) waktu dan tempat kejadian perkara; dan (4) uraian kejadian. Hasil pengawasan ditetapkan sebagai temuan pelanggaran pemilu paling lama tujuh hari sejak ditemukannya dugaan pelanggaran pernilu. Laporan pelanggaran pemilu paling lama tujuh hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan pelanggaran pemilu. Temuan dan laporan pelanggaran pemilu yang telah dikaji dan terbukti kebenarannya wajib ditindaklanjuti oleh Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Panwaslu kelurahan/ desa, Panwaslu LN, dan pengawas TPS paling lama tujuh hari setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi. Dalam hal Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Panwaslu ke- lurahan/desa, Panwaslu LN, dan pengawas TPS memerlukan keterang- an tambahan mengenai tindak lanjut, keterangan tambahan dan kajian dilakukan paling lama 14 hari kerja setelah ternuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

J. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu
pengaduan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diajukan secara tertulis oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu. tim kampanye, masyarakat, dan/atau pemilih dilengkapi dengan identitas pengadu kepada DKPP. DKPP melakukan verifikasi dan penelitian administrasi terhadap pengaduan. DKPP menyampaikan panggilan pertamaa kepada penyelenggara pemilu lima hari sebelum melaksanakan sidang DKPP. Dalam hal penyelenggara pemilu yang diadukan tidak memenuhi panggilan, DKPP menyampaikan panggilan kedua lima hari sebelum melaksanakan sidang DKPP. Dalam hal DKPP telah dua kali melakukan panggilan dan penyelenggara pemilu tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang dapat diterima. DKPvP dapat segera membahas menetapkan putusan tanpa kehadiran penyelenggara yang basangkutan. penyelenggara pemilu yang diadukan harus datang sendiri dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain.
Pengadu dan penyelenggara pemilu yang diadukan dapat menghadirkan saksi-saksi dalam sidang DKPP. Pengadu dan penyelenggara pemilu yang diadukan mengemukakan alasan pengaduan atau pembelaan di hadapan sidang DKPP. Saksi dan/atau pihak lain yang terkait memberikan keterangan di hadapan sidang DKPP, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lainnya. DKPP menetapkan putusan setelah melakukan penelitian dan/atau Verifikasi terhadap pengaduan tersebut, mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi, serta mempertimbangkan bukti lainnya. Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno DKPP. Sanksi dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pember- hentian tetap untuk penyelenggara pernilu. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Terhadap putusan tersebut, penyelenggara pemilu wajib melaksanakan putusan DKPP.

K. Pelanggaran Administratif Pemilu
Pelanggaran administratif pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Pelanggaran administratif tidak termasuk tindak pidana pemilu pelanggaran kode etik. Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administratif pemilu. Panwaslu kecamatan menerima, memeriksa, mengkaji, dan membuat rekomendasi atas hasil kajiannya mengenai pelanggaran administratif pemilu kepada pengawas pemilu secara berjenjang. Pemeriksaan oleh Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota harus dilakukan secara ter- buka, dalam hal diperlukan sesuai kebutuhan tindak lanjut penanganan pelanggaran pemilu, Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota dapat melakukan investigasi. Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota wajib memutus penyelesaian pelanggaran administratif pemilu paling lama 14 hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi. Putusan Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota untuk penyelesaian pelanggaran administratif pemilu berupa: (1) perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan penrndang-undangan; (2) teguran tertulis; (3) tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pernilu; dan (4) sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

L. Sengketa Proses Pemilu
Dalam kaitannya dengan sengketa proses Pemilu, Bawaslu, Bawaslu provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota menerima permohonan penyele- saian sengketa proses pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/kota. Permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu disarnpaikan oleh calon peserta pemilu dan/atau peserta pemilu. Permohonan penyelesaian Sengketa proses pemilu disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat: (1) nama dan alamat pemohon; (2) pihak termohon; dan (3) keputusan KPU, keputusan KPU provinsi, dan/atau keputusan KPLJ kabupaten/ kota yang menjadi sebab sengketa. Permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu disampaikan paling lama tiga hari kerja sejak tanggal penetapan keputusan KPU, keputusan KPU provinsi, dan/atau keputusan KPU kabupaten/kota yang menjadi sebab sengketa. Penyelesaian sengketa pemilu dapat ditangani oleh dua institusi dengan kualifikasi yang berbeda.
Pertama, penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu. Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota berwenang menyelesaikan sengketa proses pemilu.
Kedua, Penyelesaian sengketa proses pemilu di pengadilan tata usaha negara. Sengketa proses pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/kota.

M. Perselisihan Hasil Pemilu
Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, perselisihan hasil pemilu dapat dipilah menjadi: pertama, perselisihan hasil pemilu meliputi perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Kedua, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.Ketiga, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional, meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional.
 Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi. Ada dua jenis proses penyelesaian sengketa hasil pemilu. peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional oleh KPU. Dalam hal pengajuan permohonan kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya perrnohonan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara ha- sil pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden Oleh KPU. Keberatan hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden. Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan tersebut Paling lama 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mah- kamah Konstitusi. KPU wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil penghitungan suara kepada:
1.     Majelis Permusyawaratan Rakyat
2.     Presiden
3.     KPU
4.     Pasangan calon dan
5.     Partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon


BAB 14

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Pengertian Pemilihan Kepala Daerah
pemilihan kepala daerah atau pilkada adalah sarana pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal. Sebagaimana halnya pemilu, pilkada menjadi Salah satu cara untuk menyeleksi pemimpin di daerah. Namun mengenai cara melaksanakannya, terdapat dinamika yang terus berkembang dalam ketatanegaraan Indonesia. Pengertian pernilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2005 adalah: "sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah." Adapun menurut Joko J. Prihantoro, bahwa "pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik, yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota." Dalam kehidupan politik di daerah, pilkada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalen tersebut ditunjukkan dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah DPRD.


B. Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah
Dasar hukum berhubungan dengan norma yang dijadikan sebagai dasar bagi keputusan dan/atau tindakan setiap warga negara dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Dasar hukum inilah yang menjadi rujukan tindakan dan/atau keputusan tersebut. Dalarn konteks ini, dasar hukum pilkada merupakan dasar yang dijadikan sebagai norma hukum pelaksanaan pilkada. Pilkada adalah aktivitas politik, sehingga harus ada aturan main yang menjadi dasar pelaksanaannya. Adapun yang menjadi dasar hukum pilkada Indonesia yakni:
1.     UUD NRI Tahun 1945
2.     Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
3.     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
4.     Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
5.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
6.     Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
7.     Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
8.     Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
9.     Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016

C. Asas-Asas Pemilihan Kepala Daerah
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 beserta perubahan sebelumnya juga diatur tentang asas-asas dalam pilkada, yaitu asas Langsung Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. Ketentuan mengenai asas ini sebenarnya disebutkan dalam Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah diubah beberapa kali. Asas tersebut adalah:
1.     Langsung
2.     Umum
3.     Bebas
4.     Rahasia
5.     Jujur
6.     Adil

D. Lembaga Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor I Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang merupakan hasil perubahan beberapa kali terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2014, disebutkan beberapa pihak yang termasuk penyelenggara pemilihan kepala daerah, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga pelaksana, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga pengawasan, dan Dewan Kehormatan Penye- lenggara pemilihan Umum (DKPP) sebagai lembaga pengawasan kode etik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa penyelenggara pilkada diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Penyelenggara Pilkada yang dimaksud sebagai berikut:
1.     Komisi Pemilihan Umum (KPU)
2.     Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
3.     Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP)

E. Peserta Pemilihan Kepala Daerah
Sebagaimana yang tertuang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, peserta pilkada, atau yang disebutkan dalam undang-undang yaitu peserta pemilihan, adalah:
1.     Pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
2.     Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang

F. Larangan Dalam Kampanye Pemilihan Kepala Daerah
Sebagai Salah satu kegiatan politik, pilkada memiliki aktivitas kampanye untuk menyampaikan visi-misi dan program kerja kandidat kepala daerah kepada masyarakat. Agar tidak terjadi tumpang tindih dan konflik kepentingan serta merusak persatuan dan kesatuan bangsa, maka undang-undang pemilihan memberikan rambu-rambu kampanye yang harus ditaati oleh setiap kandidat dalam melaksanakan aktivitasnya selama kampanye berlangsung. Rambu-rambu yang diingatkan dan dilarang dilakukan selama kampanye pilkada adalah sebagai berikut:
1.     Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.     Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, Calon bupati, calon walikota, dan/atau partai politik;
3.     Melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
4.     Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik;
5.     Mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
6.     Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
7.     Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye;
8.     Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah
9.     Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan;
10.  Melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; dan/atau
11.  Melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan leh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

BAB 15

HUKUM TATA NEGARA DARURAT

A. Pengertian Hukum Tata Negara Darurat
Secara umum keadaan darurat (state of emergency) dapat dimaknai sebagai pernyataan penguasa untuk menunda suatu fungsi yang normal dari sejumlah kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif, termasuk juga mengubah kehidupan normal warga negara dan institusi pemerintah, dalam rangka tanggap darurat. Pengertian ini sebagaimana dirujuk dari pemikir Jerman, Carl Schmitt, dalam apa yang disebutnya sebagai State of exception, yakni kemampuan atau tindakan yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan (souvereign) untuk melampaui/mengecualikan aturan hukum (rule of law) atas nama kepentingan publik. Schmitt menegaskan, bahwa souvereign adalah "he who decides on the exception."
Hukum tata negara darurat menurut doktrin ada dua yakni hukum tata negara darurat objektif dan subjektif. Hukum tata negara darurat subjektif adalah hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang atau bahkan ketentuan Undang-Undang Dasar. Adapun hukum tata negara darurat objektif adalah hukum tata negara yang berlaku ketika negara berada dalam keadaan darurat, bahaya, atau genting. Keadaan bahaya atau darurat harus dapat didefinisikan. Pemberian cakupan ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. Karena dalam keadaan tersebut negara dapat melakukan tindakan apa pun termasuk membatasi hak warga negara. Kim Lane mengemukakan keadaan darurat menyangkut hal yang ekstrem, di luar kebiasaan. Sehingga negara perlu melanggar prinsip yang dianutnya sendiri guna menyelamatkan diri dari keadaan tersebut. Aturan hukum yang dijadikan payung penerapan keadaan darurat untuk wilayah Indonesia ada empat, yaitu Peraturan SOB 1939, UU No. 6 Tahun 1946, UU No. 74 Tahun 1957, dan Perpu No. 23 Tahun 1959. Peraturan SOB 1939 membedakan tingkat keadaan bahaya menjadi dua, yaitu dalam keadaan SVO dan SVB.

B. Darurat Sipil
Keadaan darurat sipil merupakan keadaan darurat yang tingkatan bahayanya dianggap paling rendah dalam arti paling sedikit ancaman bahayanya. Karena tingkatan bahayanya yang demikian itu, tidak diperIukan operasi penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer. Sekiranyapun anggota tentara atau pasukan militer diperlukan untuk mengatasi keadaan, kehadiran mereka hanya bersifat pernbantu. Operasi penanggulangan keadaan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil. Terjadinya keadaan darurat sipil dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain dapat terjadi secara alami, insani, dan/atau sebab-sebab yang bersifat hewani. Sebab-sebab yang bersifat insani adalah sebab yang terjadi karena ulah manusia. Adapun yang dimaksud sebab-sebab hewani adalah bencana yang timbul karena hewan yang menyebabkan berjang- kitnya wabah penyakit yang meluas.

C. Darurat Militer
Keadaan darurat militer adalah keadaan yang tingkatan bahayanya dianggap lebih besar daripada keadaan darurat sipil penanganan atau penanggulangannya dianggap tidak cukup dilakukan dengan operasi yang dikendalikan oleh pejabat sipil dan hanya berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku dalam keadaan darurat sipil. Apabila tingkat ancaman bahaya yang terjadi dianggap lebih besar atau lebih serius dan dinilai tidak cukup ditangani menurut norma-norma keadaan darurat sipil, maka keadaan negara, baik untuk seluruh wilayah ataupun hanya untuk sebagian wilayah tertentu saja dapat dinyatakan atau dideklarasikan berada dalam keadaan darurat militer. Jika merujuk pada tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TND yakni, menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

D. Keadaan Perang
Dari segi hukum, pemberlakuan keadaan perang didasarkan atas regeling op den Staat Van oorlog en beleg (peraturan tentang keadaan darurat perang atau SOB) 1939. Alasannya, Karena undang-undang mengenai keadaan darurat nasional yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 belum juga dibuat. Keadaan perang timbul karena adanya ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan seluruh atau sebagian wilayah negara yang datang dari kekuatan militer asing di dalam wilayah negara ataupun di luar wilayah negara, yang mampu menangkal, menindak, dan memulihkannya memerlukan kekuatan operasi militer sebagai pertahanan negara. Medan pertempuran dapat terjadi di dalam wilayah negara dan dapat pula terjadi di luar wilayah negara. Medan pertempuran di dalam wilayah negara, juga tidak selalu harus di Wilayah negara, melainkan dapat terjadi hanya di daerah-daerah tertentu saja. Oleh karena itu, pemberlakuan keadaan darurat perang dapat dila- kukan hanya untuk di daerah-daerah tertentu saja. Ketentuan mengenai keadaan darurat di masa perang ini diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1959.

E. Argumen Mengenai “Keadaan Perang”, “Keadaan Bahaya”, Dan “Kegentingan Yang Memaksa”.
Ada tiga kalimat yang secara singkat memiliki makna yang kadang serupa, tetapi tidak sama, yakni; "keadaan perang", yang terdapat dalam rancangan awal Undang-Undang Dasar Indonesia yang terletak di dalam pasal 11, "keadaan" bahaya" yang terdapat dalam Pasal 12 serta "kegentingan yang memaksa" dalam Pasal 22. Ketiga potongan kalimat ini kedengarannya sepintas agak mirip, yakni; situasi perang, situasi bahaya, situasi genting. Peperangan dapat menimbulkan bahaya yang menyebabkan situasi genting. Meskipun dibolak-balik juga kalimatnya, maka pada intinya, "perang-bahaya-genting" merupakan tali-temali kata yang tidak terpisahkan.
Tetapi kemudian, yang terdapat dalam UUD 1945 setelah ditetapkan Pada tanggal 18 Agustus 1945 hanyalah dua, yakni "keadaan bahaya" sebagaimana dalam pasal 12 dan "kegentingan yang memaksa" sebagai mana yang terdapat dalam Pasal 22. "Keadaan perang" tercakup dalam frasa kalimat keadaan bahaya yang memerlukan sikap presiden untuk menetapkan "situasinya". Karena peperangan dapat menimbulkan bahaya bagi bangsa dan negara. Kedua frasa dalam pasal yang berbeda ini dikonstruksi dengan prasituasi dan posisi presiden sebagai subjek yang berbeda. Pada "keadaan bahaya presiden boleh menetapkannya berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan dengan undang-undang. Pra situasi keadaan bahaya memiliki daya ikat yang kuat, yakni undang-undang.
"Keadaan bahaya" berkaitan atau memiliki relevansi dengan "ancaman terhadap negara". Negara setidaknya berhubungan dengan tiga unsur di dalamnya, yakni; "wilayah. rakyat, dan pemerintah yang berdaulat". Dalam hal ini, keadaan bahaya berhubungan dengan ancaman terhadap wilayah negara, ancaman terhadap rakyat dan ancaman terhadap pemerintahan secara umum. Artinya state disturbing. Itulah sebabnya, penetapan keadaan bahaya berhubungan dengan posisi presiden sebagai "kepala negara".

Adapun yang dikategorikan sebagai keadaan bahaya, sebagai berikut:
1.     Keadaan bahaya karena perang yang datang dari luar negeri
2.     Keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri, seperti tentara Amerika Serikat berperang di Irak
3.     Keadaan bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau ancaman pemberontakan bersenjata oleh kelompok separatis di dalam negeri, seperti pernah terjadi di DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh.
4.     Keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya, kerusuhan sosial di Jakarta yang menyebabkan Presiden Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998.
5.     Keadaan bahaya karena terjadi bencana alam (natural disaster) atau kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan, dan mengakibatkan mesin pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya, gelombang tsunami di Aceh dan bencana lainnya yang menimbulkan kepanikan sehingga fungsi-fungsi pemerintahan sehari-hari tidak dapat dijalankan.
6.     Keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu atau menyebabkan mekanisme administrasi negara tidak dapat dijalankan seagaimana mestinya sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.
7.     Keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara seperti yang dalam UUD India disebut "finansial emergency" dan kondisi administrasi negara yang tidak mendukung atau di mana ketersediaan keuangan negara yang tidak memungkinkan dilaksanakannya tugas-tugas pemerintahan oleh lembaga-lembaga penyelenggara negara sebagaimana mestinya, sementara keutuhan untuk bertindak sudah sangat genting dan mendesak untuk dilakukan.
8.     Keadaan-keadaan lain di mana fungsi-fungsi kekuasaan konstitusional yang sah tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, kecuali dengan cara melanggar undang-undang tertentu, sementara keharusan untuk mengubah undang-undang dimaksud belum dapat terpenuhi dalam waktu yang tersedia.
Sebaliknya "kegentingan yang memaksa" mewakili perasaan si subjek, dalam hal ini "perasaan presiden" terhadap "situasi pemerintahan". Penetapaan kegentingan yang memaksa meletakkan subjektivitas presiden sebagai titik pusat pengambilan keputusan, sehingga sifatnya "fleksibel". Tergantung pada "perasaan" yang dialami oleh presiden.
Dasar hukum dari "kegentingan yang memaksa" sudah ditetapkan juga dalam UUD, sehingga apabila terjadi kegentingan yang memaksa, maka presiden dapat mengeluarkan "peraturan pemerintah pengganti undang-undang" atau disingkat Perppu. Dengan demikian, bentuk hu- kum dari "kegentingan yang memaksa" adalah Perppu yang sudah diatur pula formatnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Kelebihan Buku
     
      Buku ini mencakup materi secara luas dan lengkap mengenai hukum tata negara Indonesia serta sistem pemerintahan negara sehingga layak sekali dijadikan sumber untuk menambah pengetahuan tentang hukum tata negara bagi pembaca. Buku ini sangat bagus untuk dibaca oleh semua kalangan baik pelajar maupun masyarakat umum. Terlebih lagi bagi mahasiswa, buku ini sangat bermanfaat untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan khususnya ilmu yang berkaitan dengan hukum tata negara.

3. Kekurangan Buku

   Kekurangan dalam buku ini adalah mengenai pemahaman beberapa istilah-istilah yang kurang diketahui bagi pemula yang baru membaca serta baru mempelajari mengenai hal yang berkaitan dengan hukum tata negara sehingga ada beberapa materi dari penulis yang belum dapat diserap oleh pembaca, selain itu harga buku juga tergolong cukup mahal.